EUR/USD 1.078   |   USD/JPY 151.350   |   GBP/USD 1.263   |   AUD/USD 0.651   |   Gold 2,233.48/oz   |   Silver 25.10/oz   |   Wall Street 39,807.37   |   Nasdaq 16,379.46   |   IDX 7,288.81   |   Bitcoin 70,744.95   |   Ethereum 3,561.29   |   Litecoin 94.22   |   Pound Sterling menghadapi tekanan di tengah kuatnya penurunan suku bunga BoE, 1 hari, #Forex Fundamental   |   Menurut analis ING, EUR/USD berpotensi menuju 1.0780 atau mungkin 1.0750 di bawah Support 1.0800. , 1 hari, #Forex Teknikal   |   USD/CHF naik ke dekat level 0.9060 karena penghindaran risiko, amati indikator utama Swiss, 1 hari, #Forex Teknikal   |   GBP/USD menarget sisi bawah selanjutnya terletak di area 1.2600-1.2605, 1 hari, #Forex Teknikal   |   BEI tengah merancang aturan tentang Liquidity Provider atau penyedia likuiditas untuk meningkatkan transaksi pada saham-saham di papan pemantauan khusus, 1 hari, #Saham Indonesia   |   PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) meraup pendapatan usaha sebesar $1.70 miliar pada tahun 2023, 1 hari, #Saham Indonesia   |   PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. (INTP) siap memasok 120,000 ton semen curah dalam satu tahun untuk memenuhi kebutuhan semen di proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, 1 hari, #Saham Indonesia   |   S&P 500 turun 0.1% menjadi 5,304, sementara Nasdaq 100 turun 0.1% menjadi 18,485 pada pukul 19:16 ET (23:16 GMT). Dow Jones turun 0.1% menjadi 40,119, 1 hari, #Saham Indonesia

Konflik Arab-Iran Bisa Dorong Harga Minyak Makin Jatuh

Penulis

Awal pekan ini, meningkatnya ketegangan di Timur Tengah mengejutkan pasar dan mendorong harga minyak meningkat sesaat. Namun, ketegangan yang kali ini tercetus dari perseteruan antara Arab Saudi dan Iran tersebut sejatinya malah memperburuk proyeksi harga minyak.

Awal pekan ini, meningkatnya ketegangan di Timur Tengah mengejutkan pasar dan mendorong harga minyak meningkat sesaat. Namun, ketegangan yang kali ini tercetus dari perseteruan antara Arab Saudi dan Iran tersebut sejatinya malah memperburuk proyeksi harga minyak.

ilustrasi

 

Tak Jadi Bentrok Militer Langsung

Rentetan kejadian di awal tahun ini berawal dari eksekusi yang dilakukan Arab Saudi atas 47 tahanan, dimana salah satunya merupakan ulama Syiah terkemuka Nimr Al Nimr yang dituduh memicu pemberontakan. Iran yang notabene mayoritas Syiah mengungkapkan kemarahannya, dan massa pemrotes membakar kedutaan besar Arab di Teheran dimana Saudi mengklaim pihak berwenang Iran tidak berusaha menyelamatkan anggota kedutaan. Segera setelahnya, Arab Saudi menyatakan memutus hubungan diplomatik dengan Iran.

Sebagaimana lazim terjadi, ketegangan di Timur Tengah mendorong harga minyak naik lebih tinggi, apalagi konflik ini terjadi antara negara terbesar pertama dan ketiga di OPEC. Namun, reaksi pasar tanggal 4 Januari itu bisa dikatakan lebih merupakan reaksi spontan ketimbang analisa realistis.

Nyatanya, konflik Arab-Iran kali ini belum menginterupsi pasar minyak. Sebagaimana dicatat oleh Evan Kelly dari OilPrice.com, sejauh ini kedua belah pihak belum mengangkat senjata, dan jalur-jalur suplai minyak pun masih beroperasi seperti biasa, khususnya di Selat Hormuz yang merupakan salah satu titik suplai minyak terpenting. Tak heran bila minyak kembali ambruk di awal perdagangan tanggal 6 Januari.

Pengamat menilai bahwa konflik Arab-Iran kali ini hampir pasti tidak akan meletus jadi bentrokan militer langsung antara kedua negara. Sebaliknya, konflik tersebut justru memperburuk situasi di pasar minyak dunia. Salah satu contohnya, Arab Saudi baru saja memangkas harga minyaknya untuk pasaran Eropa dimana Iran sempat punya pangsa pasar sebelum dijatuhi sanksi nuklir tahun 2012. Dalam hal ini, Arab kemungkinan berkeinginan untuk mencegah Iran mengambil kembali pasarnya setelah sanksi nuklir mereka dicabut dalam bulan-bulan mendatang. Strategi itu juga kemungkinan dimaksudkan untuk mengalahkan Rusia di pasar Eropa. Dengan kata lain, perebutan pangsa pasar akan makin sengit seiring dengan makin murahnya harga minyak yang disuplai ke pasar.

 

Produksi AS Masih Membandel

Sementara itu, laporan pekanan EIA lagi-lagi menunjukkan keengganan produsen minyak AS untuk memangkas produksi. EIA mengestimasikan bahwa AS memproduksi 9.2 juta barel per hari sepanjang pekan terakhir tahun 2015. Ini artinya level output cenderung flat dalam beberapa bulan terakhit, meskipun banyak pihak (termasuk OPEC) mengharapkan produksi AS menurun lebih cepat. Lebih buruk lagi: Inventory gasolin justru naik sebanyak 10 juta barel dalam pekan yang sama; sedangkan permintaan minyak selama sebulan terakhir malah hanya mencapai 19.7 juta barel perhari, atau 2.5 persen lebih rendah dibanding setahun yang lalu.

Ada penyusutan dalam persediaan minyak mentah pada pekan yang berakhir di 1 Januari 2016 sebesar 5.1 juta barel. Dengan demikian, level persediaan telah menurun dari puncak 490 juta barel yang tersentuh di Desember. Namun, hal itu belum mengindikasikan suatu tren, karena kita masih perlu melihat penyusutan terjadi dalam kurun waktu yang berkelanjutan sebelum bisa mengatakan bahwa produksi AS benar-benar telah berkurang.

Kekhawatiran akan penurunan permintaan akan minyak juga memuncak sehubungan dengan munculnya kabar-kabar negatif dari salah satu konsumen minyak terbesar Dunia, China, di periode yang sama. Data manufaktur negeri Tirai Bambu kembali mengecewakan, bahkan pasar modalnya pun crash lagi dan terpaksai disuspensi. Biarpun situasi itu langsung diatasi oleh gerak cepat regulator setempat, tetapi jelas bahwa itu mengindikasikan masalah-masalah ekonomi yang melanda China belum terbendung.

Tahun 2016 ini, nampaknya harga minyak masih akan terus bergolak.

---------

Diadaptasi dari artikel "Middle East Tension Won’t Rescue Oil Prices" oleh Evan Kelly di OilPrice.com

 

Arsip Analisa By : Aisha
257776
Penulis

Aisha telah melanglang buana di dunia perbrokeran selama nyaris 10 tahun sebagai Copywriter. Saat ini aktif sebagai trader sekaligus penulis paruh waktu di Seputarforex, secara khusus membahas topik-topik seputar broker dan layanan trading terkini.