Indikator RSI (Relative Strength Index) seringkali menjadi pilihan populer bagi para Trader dalam menentukan berapa lama trend akan berlanjut. Umumnya trader akan memantau pergerakan indikator RSI di kisaran angka 70 dan 30 untuk menentukan apakah keadaan pasar sudah oversold atau overbought.
Padahal, ada kelemahan indikator RSI yang bisa jadi fatal bagi trader. Meskipun populer karena dinamika osilasinya (garis RSI bergerak naik-turun di kisaran ambang oversold atau overbought), terkadang indikator RSI kurang mampu mengikuti trend pasar yang akhirnya berdampak pada munculnya false signal.
Kelemahan Indikator RSI
RSI pada dasarnya adalah indikator pengukur kecepatan pergerakan harga. Misalnya pada saat satu komoditas dibeli dengan frekuensi tinggi selama waktu singkat, otomatis harga akan melambung dan menyebabkan pasar komoditas tersebut dalam keadaan overbought. Begitu juga sebaliknya, bila dijual terlalu sering dan cepat, harga akan terjerembab dan menyebabkan pasar di kondisi oversold.
Teorinya, jika harga sudah naik terlalu mahal atau turun hingga kelewat murah, maka harga akan "terseimbangkan kembali". Namun, kondisi oversold dan overbought tidak secara inheren menunjukkan keberlangsungan pasar dalam mempertahankan harga abnormal tersebut. Kadangkala, dalam pasar dengan trend sangat kuat (strong uptrend), bisa saja harga tinggi bertahan lebih lama (dan terus menanjak) daripada prediksi analis pasar.
Implikasinya, jika Anda 100% bergantung pada indikator RSI untuk memprediksi kapan terjadinya reversal, pastikan pula target pasar Anda bersifat relatif flat, karena pada pasar fluktuatif atau mudah tergerakkan oleh sentimen pasar, RSI akan sering kali "kebobolan". Inilah kelemahan indikator RSI.
Contoh Kasus Bobolnya RSI
Kasus pertama menggunakan data pergerakan pairs GBP/USD tanggal 26 April 2016 pada resolusi 1h.
Trader umumnya akan segera melihat signal reversal pada sekitar jam 09:00 dan segera membuka posisi sell dengan ekspektasi bahwa harga sudah dalam keadaan overbought.
Kenyataan pasar masih dalam kuat digerakkan oleh sentimen pasar sehingga harga malah kembali naik sampai sekitar jam 10:00. Bahkan harga kembali naik pada jam 11:00.
Kasus kedua menggunakan data pergerakan pairs EUR/USD tanggal 29 april-1 Mei 2016 pada resolusi 1h.
Setelah rilisnya data GPD Q1-QoQ yang lebih baik dari perkiraan untuk zona Euro ditambah lagi lemahnya USD karena perlambatan pertumbuhan ekonominya. Spontan sentimen terhadap Euro terus ber-"gemuruh" dan praktis membuat nilai tukarnya meroket. Pada periode tersebut indikator RSI berada pada kondisi Overbought dalam waktu panjang dan tidak menunjukkan kapan pastinya reversal akan muncul.
Saran Penggunaan
Bergantung hanya pada satu indikator, terutama lagging indicator seperti RSI, tidak direkomendasikan apabila Anda termasuk trader yang melakukan transaksi dengan frekuensi tinggi (beberapa kali dalam sehari). Apalagi, jelas nampak ada kelemahan indikator RSI sebagaimana dipaparkan di atas. Oleh karenanya, gunakanlah RSI sebagai supplemen panduan bersama dengan indikator teknikal forex lainnya, bukan sebagai acuan tunggal. Itu akan sangat bermanfaat, terutama ketika indikator RSI lama tidak memberikan indikasi apa-apa meskipun pergerakan harga diatasnya tetap aktif.