EUR/USD 1.067   |   USD/JPY 154.540   |   GBP/USD 1.245   |   AUD/USD 0.642   |   Gold 2,391.77/oz   |   Silver 28.68/oz   |   Wall Street 37,841.35   |   Nasdaq 15,601.50   |   IDX 7,087.32   |   Bitcoin 63,843.57   |   Ethereum 3,059.28   |   Litecoin 80.91   |   XAU/USD bullish efek masih berlanjutnya tensi konflik Israel-Iran, 1 hari, #Emas Fundamental   |   Pasar bergerak dalam mode risk-off di tengah berita utama mengenai serangan Israel ke Iran, 1 hari, #Forex Fundamental   |   Poundsterling menemukan area support, meskipun sentimen risk-off membuat bias penurunan tetap terjaga, 1 hari, #Forex Fundamental   |   GBP/JPY bertahan di bawah level 192.00 setelah data penjualan ritel Inggris, 1 hari, #Forex Teknikal   |   PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk (PJAA) mencatat jumlah pengunjung saat libur lebaran 2024 ini mencapai 432,700 orang, 1 hari, #Saham Indonesia   |   S&P 500 turun 0.2% menjadi 5,039, sementara Nasdaq 100 turun 0.4% menjadi 17,484 pada pukul 20:09 ET (00:09 GMT). Dow Jones turun 0.2% menjadi 37,950, 1 hari, #Saham AS   |   Netflix turun hampir 5% dalam perdagangan aftermarket setelah prospek pendapatannya pada kuartal kedua meleset dari estimasi, 1 hari, #Saham AS   |   Apple menghapus WhatsApp dan Threads milik Meta Platforms (NASDAQ:META) dari App Store di Cina pada hari Jumat setelah diperintahkan oleh pemerintah Cina, 1 hari, #Saham AS

Blunder Zona Euro Yang Tak Bisa Diobati QE ECB

Penulis

Kemunduran ekonomi Zona Euro saat ini cukup menjadi misteri. Ada yang mengatakan bahwa kondisi tersebut diawali oleh krisis utang beberapa waktu lalu yang masih jadi momok hingga kini, tetapi ada juga yang mengatakan bahwa Zona Euro hanya memasuki tahap melesu dalam siklus ekonomi. Namun, apakah benar demikian?

Kemunduran ekonomi Zona Euro saat ini cukup menjadi misteri. Ada yang mengatakan bahwa kondisi tersebut diawali oleh krisis utang beberapa waktu lalu yang masih jadi momok hingga kini, tetapi ada juga yang mengatakan bahwa Zona Euro hanya memasuki tahap melesu dalam siklus ekonomi. Namun, apakah benar demikian? Perlu diingat bahwa perekonomian wilayah ini terdiri dari berbagai negara yang memiliki struktur ekonomi berbeda-beda, tak seperti sebuah negara biasa. Fakta ini membuat pemulihan ekonomi wilayah jadi lebih sulit untuk dilakukan.

Lemahnya Indikator Makro

Hampir semua indikator makro di area Euro mengalami penurunan atau stagnasi. Masalah yang paling utama adalah pelambatan pertumbuhan GDP, tetapi pengangguran tinggi, inflasi lemah, dan besarnya utang merupakan tiga faktor yang perlu diperbaiki dalam rangka pemulihan ekonomi Zona Euro.

1. Data terakhir tingkat pengangguran zona Euro adalah 11.50%, dengan jumlah tuna karya terbesar di Spanyol dan Yunani. Pasar tenaga kerja sebenarnya sudah mulai membaik dibandingkan pengangguran 12% di tahun 2013. Namun demikian, jumlah pengangguran sesungguhnya bisa jadi lebih besar.

Eurozone Unemployment
2. Tingkat inflasi terakhir tercatat 0.4% yoy, kesebelas kalinya berturut-turut data ini dibawah 1%. Berlawanan dengan pengangguran yang menampakkan pemulihan, level inflasi sangat mengkhawatirkan. Pada titik ini, kebijakan yang dibuat oleh para pengambil keputusan bisa menentukan apakah ekonomi Zona Euro akan hanyut dalam resesi seperti Jepang, atau memasuki tahap pemulihan berkelanjutan.

Eurozone Inflation
3. Rasio hutang pemerintah per GDP di zona Euro terlalu besar pada 92.6%. Secara terpisah, bahkan ada negara-negara yang hutang pemerintahnya mencapai lebih dari 100% GDP-nya. Sebagai perbandingan, hutang pemerintah Indonesia hanya 26.11% dari GDP, hutang AS lebih dari 100%, dan hutang Jepang lebih dari 200%, tetapi negara produsen minyak seperti Arab Saudi dan Iran memiliki level hutang dibawah 10%. Kondisi utang zona Euro sudah sedemikian rawan hingga Kanselir Jerman Angela Merkel berkeras semua negara Zona Euro harus melaksanakan kebijakan "Austerity" (penghematan). Austerity adalah arahan kebijakan yang bertujuan untuk memangkas defisit negara dengan cara memotong pengeluaran publik dan meningkatkan pajak.

Namun demikian, praktek Austerity ini dipertanyakan keefektifannya. Secara teoritis, berkurangnya pengeluaran publik bisa menekan kemungkinan gagal bayar utang dan segala akibat yang bisa ditimbulkannya. Tapi di sisi lain, Austerity mematahkan semangat masyarakat untuk melakukan ekspansi bisnis dan membuka lapangan kerja baru gara-gara tingginya pajak dan rendahnya insentif bisnis. Kita bisa melihat betapa parahnya kepercayaan sektor bisnis zona Euro dari angka PMI yang lagi-lagi selip mendekati ambang batas 50 .

Desakan Quantitative Easing

Sembari menjanjikan pelonggaran moneter, Presiden bank sentral Eropa, Mario Draghi, telah berulang kali memperingatkan para pemimpin zona Euro akan pentingnya reformasi struktural. Ia mengakui kewajiban ECB untuk berusaha mengatasi masalah kemerosotan inflasi, tetapi ia juga memahami bahwa ECB tak bisa memulihkan perekonomian sendirian. Kemarin (22/9), Draghi mengatakan pada Parlemen Eropa di Brussel, "Kami siap untuk menggunakan instrumen tambahan dalam ruang lingkup kewenangan kami, dan menyesuaikan ukuran dan/atau komposisi intervensi tersebut apabila diperlukan untuk mengatasi risiko dari tren inflasi rendah yang berkepanjangan."

Mario Draghi
Pekan lalu, permintaan dari bank-bank bagi program pinjaman TLTRO ECB jauh lebih rendah dari harapan. ECB telah merencanakan program pembelian ABS yang akan diumumkan bulan depan, tetapi kegagalan TLTRO dan pernyataan Draghi tersebut kembali mendorong ekspektasi bahwa ECB akan mengadopsi Quantitative Easing (QE). Apalagi jika kita pantau kondisi saat ini, maka tak ada jalan lain bagi ECB kecuali QE bila kebijakan lainnya gagal.

Perlu dicatat bahwa praktek Austerity yang diaplikasikan di negara-negara Eropa berlawanan dengan stimulus. Kasarnya, jika Austerity berlanjut, maka itu seperti ECB menumpahkan uang ke perekonomian, sementara pemerintah menyembunyikan dompetnya dan menyerap uang dari perekonomian. Ini seperti 10 minus 10 sama dengan nol, yang berarti stimulus takkan bisa memperbaiki perekonomian zona Euro. Dilema-nya sekarang, jika austerity dibatalkan, maka utang pemerintah bisa melonjak, dan risiko krisis utang bisa muncul lagi. Solusinya bisa jadi ada pada relaksasi pengeluaran publik secara terbatas dengan dibantu oleh QE dari ECB. Namun ini pun belum cukup untuk menyingkirkan masalah sesungguhnya.

Dalam berbagai kesempatan, Draghi telah meminta para pemimpin zona Euro untuk menegakkan kebijakan baru dalam rangka mereformasi pemerintahan dan menjalankan stimulus fiskal. Ia sekali lagi menyatakan hal ini di Brussel, "Sebagaimana telah saya nyatakan dalam beberapa kesempatan, tak ada stimulus moneter maupun fiskal yang akan bisa menimbulkan efek berarti tanpa reformasi struktural". Lebih lanjut, ia menilai krisis hanya akan berakhir setelah kepercayaan (masyarakat) kembali dan perusahaan-perusahaan bersedia mengambil risiko lagi, berinvestasi dan menciptakan pekerjaan, yang mana hal-hal ini bergantung pada implementasi reformasi struktural dan peningkatan daya saing."

Perlunya Reformasi Struktural

Asia Tenggara dalam kerangka ASEAN memiliki aspirasi untuk meniru Uni Eropa dengan Zona Euro-nya. Dimulai dari asosiasi biasa, diikuti oleh kerjasama di berbagai sektor, bertransformasi menjadi kesatuan ekonomi eksklusif untuk menjamin stabilitas dan kemajuan ekonomi regional, lalu berhasil membangun mata uang kesatuan Euro. Kesatuan semacam ini dipandang sebagai masa depan dimana setiap negara bisa memajukan perekonomiannya dan meraih kemakmuran baru. Sebagai sebuah kesatuan, Zona Euro memiliki posisi sebagai ekonomi terbesar di Dunia, mengalahkan AS dan China (berdasarkan data IMF dan World Bank tahun 2013). Pencapaian itu tak mungkin dicapai oleh salah satu negara Zona Euro sendirian, tetapi dengan mudahnya diraih bersama-sama. Namun pengalaman Zona Euro menunjukkan bahwa aspirasi agung itu tidak mudah dipertahankan.

European Union Map 2014
Masalah pertama, ada kesenjangan yang besar antara satu negara dan negara lain dalam zona Euro. Jerman memiliki ekonomi terbesar dengan GDP 3,636 miliar USD (20.9% dari GDP Uni Eropa), diikuti oleh Perancis dengan GDP 2,737.4 billion USD (15.8%). Negara-negara lain tak se-kaya itu. GDP Yunani hanya 241.8 miliar USD (1.4%), GDP Slovakia cuma 95.8 miliar USD (0.5%), dan seterusnya. Kesenjangan ini menempatkan beban yang besar bagi Jerman untuk mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah dan ikut menanggung utang negara-negara lain.

Kedua, desain Zona Euro pada dasarnya cacat. Buku kontroversial "The Euro Trap" yang ditulis oleh ekonom Hans-Werner Sinn dari institut Ifo Jerman menyebutkan hal ini: Zona Euro mendorong aliran modal besar ke negara-negara Eropa bagian selatan, yang membuat daya saing mereka jadi lemah dan membuat mereka rawan terimbas krisis global yang diakibatkan oleh ekonomi AS. Setelah krisis, dilakukan bailout dan austerity. Namun sekarang kombinasi antara beban utang yang luar biasa besar dan kekakuan di zona Euro menghalangi negara-negara ini untuk keluar dari sistem. Intinya, kelesuan yang dialami ekonomi zona Euro saat ini adalah satu fase yang tak terelakkan, dan hanya akan bisa dilewati jika ada reformasi struktural.

Ketiga, zona Euro terdiri dari berbagai negara dengan kompleksitas masalahnya masing-masing. Oleh karena itu, pendirian Zona Euro sendiri mengharuskan adanya pembatasan intervensi bank sentral terhadap ekonomi masing-masing negara. Bank sentral sebagai otoritas moneter negara selalu dibangun terpisah dari pemerintah sebagai otoritas fiskal, tetapi biasanya ada kepentingan politik dan ekonomi yang sejalan diantara keduanya. Karakter semacam ini tidak ada pada ECB sebagai bank sentral Eropa. Kepentingan-kepentingan antar negara dan antar politisi simpang siur, sehingga tak heran jika himbauan Draghi agar reformasi dilakukan pun diabaikan.


Sebagaimana ekonom Joseph Stiglitz menulis dalam kolomnya Januari lalu, "Ketika para pemimpin Eropa mengikat diri pada austerity dan lambat merespon masalah-masalah struktural yang muncul dari desain institusional zona Euro yang cacat, maka tak heran bila prospek benua ini nampak begitu suram". Kita bisa menyimpulkan situasi ini dalam satu kalimat: ekonomi Zona Euro sekarang membutuhkan reformasi struktural, bukan cuma stimulus finansial. Strategi stimulus yang sama dengan strategi Amerika Serikat saja takkan berhasil memulihkan ekonomi zona Euro. Selama tak ada reformasi struktural, maka zona Euro harus bersiap menghadapi kemunduran ekonomi yang bisa jadi berkepanjangan.

201660

Alumnus Fakultas Ekonomi, mengenal dunia trading sejak tahun 2011. Seorang News-junkie yang menyukai analisa fundamental untuk trading forex dan investasi saham. Kini menulis topik seputar Currency, Stocks, Commodity, dan Personal Finance dalam bentuk berita maupun artikel sembari trading di sela jam kerja.