EUR/USD 1.070   |   USD/JPY 155.380   |   GBP/USD 1.246   |   AUD/USD 0.650   |   Gold 2,329.23/oz   |   Silver 27.43/oz   |   Wall Street 38,086.22   |   Nasdaq 15,712.75   |   IDX 7,155.29   |   Bitcoin 64,276.90   |   Ethereum 3,139.81   |   Litecoin 83.16   |   EUR/USD dapat lanjutkan pemulihan selama support level 1.0700 bertahan, 10 jam lalu, #Forex Teknikal   |   Nilai kontrak baru PT PP (Persero) Tbk. (PTPP) mencatatkan pertumbuhan sekitar 20,10% secara tahunan menjadi Rp4.9 triliun pada kuartal I/2024, 17 jam lalu, #Saham Indonesia   |   PT Citra Borneo Utama Tbk. (CBUT) menetapkan pembagian dividen tahun buku 2023 sebesar Rp28.84 miliar, 17 jam lalu, #Saham Indonesia   |   Saham Meta Platforms Inc (NASDAQ: META) turun tajam sebesar 15.3% menjadi $417.83, mendekati level terendah dalam tiga bulan terakhir, 17 jam lalu, #Saham AS   |   S&P 500 turun 0.6% menjadi 5,075, sementara Nasdaq 100 turun 1.1% menjadi 17,460 pada pukul 19.49 ET (23.49 GMT). Dow Jones turun 0.2% menjadi 38,591, 17 jam lalu, #Saham AS

Poundsterling Khawatirkan Perlambatan Ekonomi Inggris

Penulis

Nilai Poundsterling telah bearish sejak pertengahan bulan Juli. Pounds bahkan masih diperdagangkan di kisaran rendah-nya sejak awal bulan ini terhadap Dolar AS, walau data ritel kemarin (20/11) menunjukkan peningkatan lebih tinggi dari perkiraan. Alasan utama adalah karena ketidakjelasan nasib kebijakan kenaikan suku bunga Inggris yang digantung hingga waktu tak terbatas oleh Bank of England. Namun dibalik itu, pelaku pasar juga memiliki sejumlah kecemasan lain.

Nilai Poundsterling telah bearish sejak pertengahan bulan Juli. Pounds bahkan masih diperdagangkan di kisaran rendah-nya sejak awal bulan ini terhadap Dolar AS, walau data ritel kemarin (20/11) menunjukkan peningkatan lebih tinggi dari perkiraan. Sebelumnya, Poundsterling sempat rebound pasca notulen rapat kebijakan Bank of England yang menunjukkan adanya keberagaman pandangan diantara anggota rapat tersebut.

Ekonomi Inggris - ilustrasi

Inggris Dan Aktivitas Belanja

Inggris merupakan negara dengan jumlah GDP terbesar keenam di Dunia setelah Amerika Serikat, China, Jepang, Jerman, dan Perancis. Negeri yang dipimpin Ratu Elizabeth II ini merupakan salah satu negara berbasis dagang, dimana ia mencatat rekor Dunia sebagai eksportir terbesar keempat sekaligus importir terbesar keempat. Investasi asing yang melewati Inggris juga tidak tanggung-tanggung, dimana jumlah investasi asing yang masuk maupun keluar dari Inggris tercatat sebagai negara asal investasi masuk dan keluar terbesar kedua di Dunia setelah Amerika Serikat, menurut CIA World Factbook.

Setelah menjadi pelopor revolusi industri di abad ke-18, Inggris perlahan-lahan bertransformasi menjadi pusat dagang dan pasar finansial Dunia dengan sebagian besar warganya bekerja di sektor jasa. Perekonomiannya telah beberapa kali mengalami kemerosotan, dan bahkan sempat jatuh ke dalam resesi di periode 2008-2010. Namun demikian, Inggris mulai merangkak naik, dan sejak akhir tahun 2013 berekspansi hingga berhasil mencatat pertumbuhan di kisaran 3% dalam tahun 2014 ini.


Pertumbuhan GDP InggrisData Pertumbuhan GDP Inggris Kuartal I/2013 - Kuartal III/2014

Karena karakter khas-nya sebagai negara berbasis dagang, maka data penjualan retail Inggris termasuk salah satu data berdampak besar bagi pemerintah maupun bagi investor. Dalam hal ini, data penjualan ritel Inggris yang lalu memberikan indikasi bagus. Tercatat pada bulan Oktober 2014, penjualan ritel naik 0.8% dibanding bulan sebelumnya. Pertumbuhan terdeteksi di semua sektor, kecuali ritel non-toko (ritel online). Selain itu, menjelang Black Friday (28 November) dan Cyber Monday (1 Desember) yang dikenal sebagai hari diskon dan belanja, penjualan ritel diperkirakan akan terus menanjak. Apalagi, menjelang Natal dan Tahun Baru bulan depan, penjualan ritel secara historis selalu tinggi.

Kecemasan Pasar Tentang Poundsterling

Namun demikian, pasar gagal berjingkrak atas kenaikan penjualan ritel tersebut. Alasan utama adalah karena ketidakjelasan nasib kebijakan kenaikan suku bunga Inggris yang digantung hingga waktu tak terbatas oleh Bank of England. Namun dibalik itu, pelaku pasar juga memiliki sejumlah kecemasan lain.

1. Ekspektasi Laju Inflasi Masih Suram
Inflasi mengacu pada kenaikan harga-harga secara terus menerus dalam satu periode. Dengan demikian, kenaikan penjualan ritel, yang mengindikasikan tingginya permintaan masyarakat, semestinya merupakan indikasi inflasi terus meningkat. Namun, di Inggris tidak demikian. Masalahnya ada dua: penurunan harga komoditas dan perang harga antar supermarket.

Penurunan harga komoditas dunia telah mendorong harga bensin dan solar merosot ke level terendah sejak tahun 2010, dimana harga rata-rata di SPBU Inggris tercatat hanya 122.5 pence per liter. Sedangkan perang harga supermarket telah mendorong jatuhnya harga bahan-bahan makanan di seluruh Inggris. Kondisi ini mengindikasikan inflasi Inggris kemungkinan akan bertahan di kisaran 1-2% saja hingga akhir tahun ini. Dengan laju inflasi moderat seperti ini, Bank of England tak memiliki alasan untuk menaikkan suku bunga-nya. Justru sebaliknya, BoE telah memperingatkan bahwa inflasi bisa merosot hingga 1% dalam enam bulan kedepan.

2. Dampak Perlambatan Ekonomi Zona Euro
Dalam notulen rapat kebijakan awal pekan ini, terungkap bahwa sejumlah pejabat BoE mengkhawatirkan imbas perlambatan ekonomi Zona Euro terhadap perekonomian Inggris. Sebagai bagian dari Uni Eropa, Inggris memiliki hubungan dagang yang sangat erat dengan Zona Euro, baik dari sisi ekspor maupun impor. Oleh karena itu, kekhawatiran tersebut tidaklah berlebihan. Terbukti, PMI Manufaktur Inggris sempat jeblok pada Agustus dan September seiring dengan kemunduran yang dialami Zona Euro, dan kembali meningkat bulan Oktober kemarin setelah bank sentral Eropa kembali memangkas suku bunga dan menjalankan rencana pembelian ABS. Memang tak semua sektor di Inggris terkena efek samping perlambatan ekonomi Zona Euro, sehingga pengaruhnya terbatas; namun masalah yang sama bisa diperkirakan akan menahan laju pertumbuhan Inggris.


PMI Manufaktur InggrisIndeks PMI Manufaktur Inggris November 2013-Oktober 2014

3. Spekulasi Keluarnya Inggris Dari Uni Eropa
Inggris merupakan anggota Uni Eropa, namun belum menyatakan komitmennya untuk menggunakan mata uang Euro. Keberadaan Inggris sebagai anggota Uni Eropa tersebut merupakan kontroversi tersendiri di Inggris, karena sebagian masyarakat menetang integrasi lebih lanjut dengan Eropa daratan.

Keanggotaan di Uni Eropa diklaim telah membantu perekonomian maju setelah terpukul krisis 2008/2009, tetapi integrasi lebih lanjut dinilai akan menempatkan Inggris dalam risiko karena adanya negara-negara di periferi Zona Euro yang perekonomiannya rentan. Selain itu juga terdapat berbagai alasan lain lagi, sehingga beberapa bulan yang lalu PM Cameron setengah terpaksa menjanjikan referendum guna menentukan nasib keanggotaan Inggris di Uni Eropa.

BoE Mungkin Naikkan Suku Bunga Setelah The Fed

Kepastian mengenai referendum itu masih belum jelas, tetapi spekulasi-nya saja sudah cukup untuk membuat pelaku pasar cemas. Jika sampai ada tanda-tanda konkrit bahwa Inggris akan melepaskan diri dari Uni Eropa, maka itu bisa mendorong terjadinya capital outflow (pelarian modal) dari Inggris, dan menjatuhkan nilai Poundsterling. Sementara itu selama kejelasan belum ada, pelaku pasar akan terus meragukan aset-aset berdenominasi Poundsterling. Bahkan, sejumlah lembaga telah merevisi ekspektasi pertumbuhan ekonomi Inggris mendatang. BoE memperkirakan pertumbuhan tahun 2015 hanya 2.9%, sedangkan HSBC Inggris memangkas perkiraan yang sama dari 2.6% ke 2.4%. Ini berarti, lembaga-lembaga tersebut telah mengantisipasi terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi di negeri tersebut.

Ketidakpastian-ketidakpastian diatas telah menekan Poundsterling secara fundamental, dan membuat para analis memangkas ekspektasi kenaikan suku bunga BoE mereka. Sejumlah analis kini memperkirakan bahwa The Fed AS bisa jadi menaikkan suku bunga lebih dulu daripada BoE, padahal sebelumnya BoE diharapkan menaikkan bunga acuan duluan. Diantaranya, Kepala ekonom HSBC Inggris, Simon Wells, menyebutkan dalam laporan riset terbaru HSBC bahwa bank global itu memperkirakan kenaikan suku bunga BoE akan dimulai pada kuartal pertama tahun 2016, atau mundur satu tahun dari prediksi sebelumnya. Di sisi lain, kebanyakan analis memperkirakan The Fed akan mulai menaikkan suku bunga sekitar pertengahan tahun 2015. Atau dengan kata lain, situasi saat ini mengindikasikan kemungkinan BoE baru akan menaikkan suku bunga setelah The Fed lebih dulu melaksanakan kebijakan yang sama.


212332

Alumnus Fakultas Ekonomi, mengenal dunia trading sejak tahun 2011. Seorang News-junkie yang menyukai analisa fundamental untuk trading forex dan investasi saham. Kini menulis topik seputar Currency, Stocks, Commodity, dan Personal Finance dalam bentuk berita maupun artikel sembari trading di sela jam kerja.