Reli kenaikan harga minyak tertahan pada sesi Asia pagi ini (15/2), setelah sempat melonjak pada hari Jumat akibat spekulasi seputar pemangkasan produksi oleh jajaran produsen minyak terdepan. WTI untuk pengiriman Maret di NYMEX tertahan pada kisaran 29.25 Dolar per Barel. Sementara minyak Brent untuk pengiriman April di ICE London saat ini masih mengambang di kisaran 33.30 Dolar per Barel.
Harga minyak mengalami kenaikan satu hari tertingginya sejak krisis finansial pada akhir pekan lalu, setelah menteri energi Uni Emirat Arab mengatakan bahwa negara-negara anggota OPEC "siap untuk bekerjasama" jika para pemain pasar non-OPEC juga berjanji melakukan hal yang sama.
Tertahannya reli hari ini, di mata analis merepresentasikan keraguan pasar kalau OPEC benar-benar akan memangkas produksi. Daniel Ang, analis dari Phillip Futures, mengatakan pada Wall Street Journal, "Kita telah mendengar cerita ini (pemangkasan produksi oleh OPEC) selama lebih dari dua tahun sekarang dan kecuali kita melihat beberapa langkah konkrit, pasar akan tetap bearish."
Invisible Support
Oversupply telah menjadi "biang kerok" rendahnya harga minyak dalam dua tahun terakhir. Namun demikian, produsen terkemuka seperti Arab Saudi, Iran, dan Rusia enggak untuk mengurangi produksi mereka, karena mengkhawatirkan produsen-produsen minyak Shale AS akan memanfaatkan situasi untuk melebarkan sayap. Guna mencegah terjadinya hal itu, maka OPEC telah secara konsisten menggenjot produksinya dengan harapan harga minyak super rendah akan membuat para pesaingnya jatuh.
"Bagi Arab Saudi dan Iran, mereka tak tertarik dengan pengurangan (produksi) saat ini, tetapi di saat yang sama, mereka tidak ingin harga jatuh terlalu dalam, karena dengan harga pada 25 Dolar per barel, mereka juga tidak menghasilkan uang," ungkap Gordon Kwan, kepala riset migas regional di Nomura, salah satu bank investasi top dunia.
Sebagaimana dikutip WSJ, Kwan menyampaikan, kapanpun harga terjun terlalu dalam, maka akan ada "invisible support" untuk menopang harga.
Demand Minyak Makin Mengkhawatirkan
Sementara itu, para pemain di pasar minyak juga memperhatikan data-data perdagangan China, yang merupakan negara konsumen minyak terbesar kedua di Dunia.
Ekspor China jatuh 11.2 persen (yoy) pada bulan Januari, sedangkan impor ambruk 18.8 persen; kedua indikator turun lebih jauh dibanding perkiraan. Hal ini menambah pekat kerisauan akan penurunan permintaan minyak di tengah melimpahnya pasokan. Padahal, sejumlah analis telah mengatakan bahwa permintaan akan minyak kemungkinan akan melambat tahun ini seiring dengan menjauhnya China dari perekonomian yang menitikberatkan industri ke perekonomian yang lebih berorientasi jasa.