Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini (1/4) melaporkan bahwa inflasi Indonesia pada bulan Maret naik tipis dari 6.29% menjadi 6.38% (yoy). Secara month-over-month, terjadi inflasi sebesar 0.17% dalam periode tersebut. Namun, data inflasi inti mengalami kenaikan lebih tinggi sebesar 0.29% (mom) atau meningkat dari 4.96% ke 5.04% (yoy).
Data Inflasi Indonesia (yoy) April 2014-Maret 2015
Berdasarkan laporan BPS tersebut, kenaikan harga-harga terutama nampak dari kenaikan indeks harga konsumen dalam kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau. Sedangkan penurunan indeks terjadi pada kelompok bahan makanan dan kelompok sandang. Dari 82 kota yang disurvei, 54 diantaranya mengalami inflasi dengan tertinggi di Manokwari, dan 28 kota mengalami deflasi.
Manufaktur Anjlok Akibat Depresiasi Rupiah
Sementara itu, laporan PMI Manufaktur Indonesia yang dirilis oleh Markit Economic bekerjasama dengan HSBC kembali anjlok dan mencatat rekor rendah baru. Setelah tercatat pada 47.50 pada bulan Februari, indeks PMI turun lagi ke 46.40 pada bulan Maret 2015. Ini merupakan bulan keeenam berturut-turut indeks PMI tercatat dibawah ambang 50 dan mengindikasikan kontraksi berkelanjutan.
Indeks PMI Manufaktur Indonesia April 2014 - Maret 2015
Menurut Pollyanna de Lima, ekonom dari Markit Economics, "Penurunan tajam permintaan domestik dan ekspor mengakibatkan jatuhnya produksi manufaktur tertajam sejak survei mulai dicatat. Ketenagakerjaan juga merosot dengan kecepatan tertinggi dalam empat tahun data dihimpun, (sehingga) menempatkan sektor (manufaktur) dalam posisi yang lebih rawan dibanding (posisinya saat) kuartal keempat tahun 2014. Menurut BPS, GDP jatuh 2.1% pada kuartal 4/2014 setelah meningkat 3.2% pada kuartal ketiga, dengan data PMI selama tiga bulan pertama tahun 2015 mengindikasikan perekonomian semakin melemah."
"Tak menyerah pada kondisi yang secara umum lebih sulit, sejumlah perusahaan masih sanggup menaikkan harga penjualan dalam bulan (Maret) karena perusahaan-perusahaan manufaktur terpaksa merespon depresiasi Rupiah terhadap Dolar AS. Di satu sisi, Rupiah yang lebih lemah diharapkan akan mendukung pertumbuhan order baru dari pasar luar negeri dalam bulan-bulan mendatang, tetapi di sisi lain perusahaan-perusahaan menghadapi kenaikan biaya-biaya impor."
Selama satu tahun terakhir hingga berita ini diangkat, kurs Rupiah telah mengalami depresiasi hingga lebih dari 10% terhadap Dolar AS. Pagi ini data Bank Indonesia menunjukkan kurs tengah Rupiah terhadap Dolar AS pada 13,043.