Menu

IHSG Naik Terus, Apakah Sudah Kemahalan?

Aditya Putra

Boleh-boleh saja investor terus bergairah masuk ke pasar saham. Namun apakah IHSG sudah sejalan dengan sisi valuasinya?

Berkali-kali disebut akan turun, nyatanya IHSG justru seperti tidak punya rem untuk terus naik sejak awal tahun kemarin. Sejatinya, ini adalah reli yang sudah terjadi sejak akhir tahun 2018, tepatnya di bulan Desember. Hingga menginjak dua bulan, indeks sudah naik hampir 8%. Apakah hal ini akan berlangsung lama? Lalu faktor-faktor apa yang membuat indeks bisa melesat sejauh ini?

Grafik IHSG

Harus di akui, saat ini ekonomi bergerak dalam fase kontraksi dengan tren pertumbuhan ekonomi yang relatif stagnan dalam 3-4 tahun terakhir. Sejatinya, ekonomi tidak dalam fase resesi, jadi investor tidak perlu terlau khawatir. Dalam fase ini, beberapa sinyal yang bisa terlihat di antaranya:

  1. Margin mengetat. Beberapa sektor sudah terlihat mengalami masalah ini pada tahun lalu, seperti sektor barang konsumsi dan perbankan.
  2. Kredit menurun. Sektor perbankan Indonesia masih bergerak dengan arah yang stabil. Meski kredit memang agak tertahan, tapi risiko juga menurun, terlihat dari kualitas aset perbankan; salah satunya dari rasio NonPerforming Loan (NPL) yang bergerak melandai.
  3. Kebijakan sektoral dipermudah. Pemerintah terus melakukan relaksasi kebijakan, bukan hanya di sektor moneter tapi juga di sisi fiskal. Ini bagus untuk terus menjaga ekonomi tetap 'panas', tapi pada kenyataannya kondisi bisnis memang sedikit lesu, sehingga fine tuning kebijakan sangat dibutuhkan dewasa ini.
  4. Aktivitas bisnis menurun. Tidak terlalu parah tapi memang agak sedikit tertahan, terlihat dari data PMI Industri Indonesia, survei kepuasaan konsumen, indeks properti, dan penjualan ritel.

Itulah beberapa sinyal dari fase kontraksi di ekonomi yang bisa terlihat di tahun lalu. Meskipun demikian, sejauh ini ekonomi belum bisa dikatakan masuk dalam fase resesi, justru berupaya untuk bergerak ke arah recovery.

Kondisi makro Indonesia di tahun lalu memang cukup pelik, salah satunya bisa dilihat dari bagaimana cara pemangku kebijakan dalam menstabilkan nilai tukar Rupiah terhadap USD; mulai dari normalisasi kebijakan moneter sampai penundaan beberapa proyek infrastruktur karena beban impor terlampau tinggi, yang membuat neraca dagang ikut-ikutan negatif.

 

Kondisi Di Awal 2019

Segalanya menjadi semakin mudah untuk IHSG, dengan penguatan Rupiah di tengah sentimen eksternal yang mulai mereda terkait perang dagang AS-China. Indeks terus menguat dan membuat aspirasi beli investor terus meningkat. Investor asing net buy hampir Rp11 triliun secara year-to-date (ytd). Saham-saham midcaps dan smallcaps menjadi incaran investor. Sebut saja sektor perbankan, telco, konsumsi, dan properti menjadi santapan empuk beli investor.

Nilai Tukar Rupiah

 

Kesimpulan

Mengambil data dari Bloomberg, valuasi IHSG Indonesia tidak dapat dikatakan murah. Angka 20.8x jika dibandingkan dengan pasar saham di kawasan Asia Tenggara dan Asia sudah mulai agak mahal. Berdasarkan data tanggal 28/01, bursa saham Indonesia paling tinggi dibandingkan dengan pasar saham lainnya, seperti Filipina (20.4x), Malaysia (19.2x), juga Thailand (15.03x).

Yang paling penting untuk diingat adalah jika ada revisi Earning Downgrade, maka hal ini akan berakibat pada koreksi masif pasar saham ke depannya. Valuasi yang terlampau mahal dan tidak mencerminkan basis fundamental akan dibayar mahal oleh investor dengan kejatuhan harga saham yang tidak diperkirakan sebelumnya. Karena itu, pemahaman yang baik mengenai kinerja sektoral oleh investor sangat berperan penting untuk menjamin kesuksesan investasi di pasar saham.

Menyimpulkan ulasan di atas, pasar saham akan terus naik asalkan hasil laporan keuangan emiten-emiten di akhir 2018 lalu tidak berbeda jauh dari estimasi para analis, begitupun dengan kinerja di 2019 ini yang diharapkan menunjukkan pertumbuhan EPS di atas 10% (setidaknya).

PE Ratio Peers






KONTAK KAMI PASANG IKLAN BROKER BELAJAR ANALISA ARTIKEL TERM OF USE