Menu

Serangan Strategis Rusia, 'Make Or Break' Pasar Minyak?

Aisha

Meskipun volatilitas di pasar minyak masih tinggi, harga minyak pekan lalu pada dasarnya ditutup tak jauh berbeda dari harga pembukaannya pada hari Senin. Namun demikian, banyak perkembangan baru yang mengindikasikan bahwa banyak pihak bisa jadi sudah lelah akan rendahnya harga minyak Dunia.

Meskipun volatilitas di pasar minyak masih tinggi, harga minyak pekan lalu pada dasarnya ditutup tak jauh berbeda dari harga pembukaannya pada hari Senin. Namun demikian, banyak perkembangan baru yang mengindikasikan bahwa banyak pihak bisa jadi sudah lelah akan rendahnya harga minyak Dunia.

 

Jangan Mau Dibodohi Data Produksi Minyak AS

Setelah banyak data mengindikasikan bahwa pasokan minyak AS mulai tertekan, EIA malah melaporkan bahwa produksi minyak AS meningkat pada bulan Juli. Angka di data bulanan biasanya lebih tinggi ketimbang data mingguan, sehingga peningkatan ini bisa dianggap sebagai alat ukur yang lebih solid tentang kemana arah pertumbuhan pasokan minyak AS.

Namun demikian, peningkatan produksi yang dilaporkan EIA itu perlu dilihat dalam konteks yang lebih luas. Peningkatan itu khusus terjadi di Teluk Meksiko, dimana output melonjak 147,000 barel per hari. Perlu dicatat disini bahwa produksi minyak di Teluk Meksiko itu berbeda sama sekali dengan produksi minyak Shale AS. Proyek di Teluk Meksiko itu bukan bagian dari booming minyak Shale, dan rencana produksinya sudah disusun sejak beberapa tahun yang lalu.

Dengan kata lain: peningkatan produksi minyak AS yang dicatat EIA itu mengaburkan pengamatan pelaku pasar akan apa yang sebenarnya terjadi di pasar minyak AS, khususnya mengenai apakah produksi minyak shale tetap tinggi, atau cenderung berkurang.

Faktanya, Evan Kelly dari OilPrice.com mencatat: tanpa minyak produksi Teluk Meksiko, output minyak AS malah menurun 53,000 barel per hari dalam bulan Juli, dibanding dengan output di bulan sebelumnya. Penurunan terutama terjadi di negara-negara bagian yang jadi aktor utama dalam produksi minyak shale: Texas, North Dakota, dan Oklahoma. Secara keseluruhan, hanya Colorado yang masih menunjukkan peningkatan produksi.

Sementara itu, proposal untuk mencabut larangan ekspor minyak telah berhasil menghimpun dukungan di parlemen Amerika Serikat. Namun demikian, proposal tersebut kemungkinan akan gagal di-gol-kan setelah Presiden Obama terang-terangan menentang pencabutan peraturan itu.

 

Ramainya Akuisisi, Merger Dan Pembatalan Eksplorasi

Penurunan harga minyak telah membuat banyak pegawai di sektor ini dirumahkan dan banyak perusahaan menutup sumur-sumur minyak yang tak berproduksi optimal. Namun, ini justru jadi kesempatan bagi perusahaan-perusahaan minyak besar untuk 'mencaplok' perusahaan kecil yang sedang 'megap-megap'. The Wall Street Journal mencatat ada sekitar 300milyar Dolar merger dan akuisisi (M&A) yang telah diumumkan atau telah di-finalisasi dalam tahun ini, jauh lebih tinggi ketimbang rekor sebelumnya sebesar 100 milyar Dolar.

Di sisi lain, perusahaan-perusahaan besar di golongan yang sama mulai menunda atau membatalkan eksplorasi sumber minyak baru, dan menutup sumber-sumber yang dinilai kurang efisien untuk dieksplorasi. Diantara kabar yang paling eksplosif baru-baru ini adalah Royal Dutch Shell membatalkan eksplorasi di laut Chukchi (Arctic) meski telah menghabiskan lebih dari 2 milyar Dolar untuk mendapatkan hak eksplorasi disana. Sedangkan perusahaan minyak milik negara seperti Petrobras Brasil, terengah-engah menghadapi rendahnya harga minyak akibat anjloknya nilai tukar mata uangnya dan besarnya utang perusahaan, sehingga terpaksa berencana akan menaikkan harga BBM bagi konsumen.

Di tingkat korporasi, situasi dimana harga minyak murah nampaknya sudah nyaris mencapai klimaks.

 

Langkah Strategis Rusia Menyerang Syria

Ketegangan juga memuncak di Timur Tengah setelah Rusia mulai melancarkan serangan udara di Syria. Keterlibatan Rusia dalam konflik di Syria saat ini belum berdampak besar di pasar minyak, tetapi banyak pihak mengamati perkembangan. Dalan McEndree dalam catatannya di oilprice.com merujuk pada kemungkinan kalau serangan tersebut adalah langkah strategis Rusia untuk 'menyelamatkan' industri minyaknya.

Industri migas adalah fondasi ekonomi dan politik Rusia. Migas memungkinkan Rusia untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi mereka, mendorong perkembangan industri, memodernisasi kekuatan militernya, dan mengejar ketertinggalannya dari negara-negara maju lain. Namun demikian, ancaman terhadap industri migas ini telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dan ini secara langsung membahayakan Rusia.

Pendapatan Rusia dari ekspor migasnya menghadapi tekanan dari beberapa sisi sekaligus. Pertama, keputusan OPEC (utamanya Saudi) untuk terus menggenjot output dan menjaga harga minyak tetap rendah. Kedua, dari keputusan AS dan sekutu untuk menjatuhkan sanksi pada Rusia setelah mereka menginvasi Ukraina dan menduduki Krimea. Ketiga, invasi Rusia atas Ukraina memotivasi negara-negara Uni Eropa untuk mengurangi ketergantungan mereka pada pasokan energi dari negeri Tirai Besi itu dan mencari alternatif pemasok lain. Keempat, naik pamornya AS dan Kanada sebagai produsen migas baru (pasca booming minyak shale) membuat persaingan di pasar minyak makin ketat.

Dalam situasi ini, serangan Rusia atas Syria berpotensi membantu presiden Vladimir Putin untuk 'meringankan tekanan' di industri minyaknya. Langkah itu bisa meningkatkan daya tarik pasokan minyak Rusia yang 'lebih terjamin keamanannya' ketimbang pasokan dari Timur Tengah. Apalagi, dengan menambahkan pangkalan udara militer di Syria, maka Rusia bisa memiliki kemampuan untuk mengganggu jalur pengiriman laut Saudi. Sebaliknya, jalur-jalur ekspor minyak Rusia di Sakhalin, teluk Finlandia, selat Bosphorus, dan jalur pipa ke Eropa, relatif lebih aman dari gangguan.

Langkah strategi itu juga memperkuat pengaruh Rusia terhadap OPEC. Rusia sudah punya hubungan dekat dengan Iran dan Venezuela, dan kini sedang menyemai hubungan dekat yang sama dengan Irak dan Syria. Dengan kata lain, Rusia 'menyatukan' negara-negara minor OPEC yang tengah menderita di masa harga minyak murah, dan menempatkan mereka sebagai oposisi negara-negara OPEC kaya (Saudi, Kuwait, UEA, dan Qatar) yang berkeinginan untuk menjaga harga tetap rendah.

Dengan kata lain, tindakan Rusia bisa dipandang sebagai manuver untuk membelah OPEC jadi dua blok, untuk kemudian mendesak kartel minyak terbesar dunia itu untuk berkompromi. Hasilnya bisa dilihat sekarang: Rusia berhasil menjadwalkan pertemuan dengan negara-negara OPEC, dan khususnya dengan Saudi Arabia .

Dilihat dari perkembangan-perkembangan ini, maka bulan Oktober ini bisa jadi 'make or break' bagi pasar minyak. Pada titik ini, data-data produksi minyak AS dan masifnya M&A mungkin masih bisa dikesampingkan, tetapi jadwal pertemuan Rusia dengan negara-negara produsen minyak lain, khususnya Saudi, akan sangat layak diperhatikan.

 


Sumber:






KONTAK KAMI PASANG IKLAN BROKER BELAJAR ANALISA ARTIKEL TERM OF USE