Menu

Benarkah Kapitalisme Ditentang

Bayu

Perekonomian dunia telah mencapai titik balik, dimana telah terjadi krisis global yang melanda dan merisaukan warga dunia. Seperti yang pernah terjadi dalam tragedi "Selasa Hitam" pada Oktober tahun 1929, wall street kembali mengalami kejatuhan. Banyak orang yang dirugikan dalam hal ini, bahkan termasuk pemilik modal. Orang-orang pun gelisah dan memilih turun kejalan untuk melakukan aksi

Perekonomian dunia telah mencapai titik balik, dimana telah terjadi krisis global yang melanda dan merisaukan warga dunia. Seperti yang pernah terjadi dalam tragedi "Selasa Hitam" pada Oktober tahun 1929, wall street kembali mengalami kejatuhan. Banyak orang yang dirugikan dalam hal ini, bahkan termasuk pemilik modal.

Orang-orang pun gelisah dan memilih turun kejalan untuk melakukan aksi menduduki pusat perdagangan global yang terdapat dikota New York. Bukan hanya wall street, orang-orang dibelahan bumi lain pun turut melakukan aksi menduduki.

Bursa efek yang terdapat di London diramaikan oleh para demonstran, tak ketinggalan juga di Bursa Efek Jakarta. Mereka menyerukan suara-suara penentangan terhadap kapitalisme. Kapitalisme dinilai telah gagal. Entah karena latah, atau karena kesamaan pemikiran, dimana disebut-sebut istilah "1 persen yang kaya, 99 persen lebih banyak yang melaratnya" dalam aksi-aksi menduduki yang ada. Kapitalisme sebenarnya banyak ditentang karena ditenggarai sebagai bibit penyubur kemelaratan.

Mari kita coba untuk melirik sekilas kondisi global dimasa lampau, dimana keberadaan kapitalisme sebenarnya sudah cukup lama ditentang. Paham komunisme yang dulu berjaya dalam perpolitikan dunia merupakan garis utama penentang kapitalisme. Sebabnya, kesadaran bahwa sistem kapitalisme hanya akan menguntungkan para pemilik modal semata, yang notabene berjumlah sedikit. Sementara para pekerja, yang jumlahnya banyak, imbalannya hanya dibuat serendah mungkin demi meminimalkan biaya produksi/cost. Akan tetapi, keidealan komunisme dianggap terlalu utopis sehingga perlahan-lahan terkikis oleh zaman sehingga pada akhirnya kehilangan masa kejayaannya. Belum lagi ditambah dengan kekalahan perang oleh negara-negara komunis, bubarnya Uni Soviet, runtuhnya tembok Berlin, menjadi penanda bahwa telah berakhirnya masa komunisme.

Sedangkan sekarang giliran kapitalisme yang sedang meraja disaat Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya secara aktif mengukuhkan cengkraman kapitalisme diatas dunia. Kapitalisme seakan terus berkembang dan menjadi paham yang dipraktekkan hampir pada semua negara. PBB yang menampung banyak negara, turut menjadi penyubur tentang kapitalisme dalam berbagai instansinya, seperti World Bank, WTO, dan IMF. Yang dijanjikan oleh kapitalisme adalah pembangunan yang pesat, dan itu diidamkan oleh setiap negara.

Kegagalan
Stempel yang kini dilekatkan kepada kapitalisme dalam perenungan warga global ialah kegagalan. Dianggap benar yang diserukan oleh para komunis bahwa kapitalisme adalah penyejahteraan bagi segelintir orang. Mata publik seketika terbuka, bahwasanya realita menunjukkan kemiskinan yang semakin melanda dunia. Pembangunan pesat yang dijanjikan dan perputaran perekonomian yang cepat ternyata tidak bisa menjadi jawaban atas kesejahteraan bersama.

Dunia terlihat semakin memburuk. Dalam dunia pendidikan, institusi-institusi yang berjamur diarahkan untuk membentuk calon pekerja-pekerja teknis, demi kepentingan perkembangan industri. Orang-orang dibentuk semekanis mungkin agar dapat dengan mudahnya diatur. Pendidikan budaya, humaniora, dikesampingkan. Dinamisme manusia beserta nilai-nilai kulturalnya hanya dijadikan sebagai entitas pelengkap. Orang-orang yang mendasari hidupnya pada tren pasar, bukan pada hakikatnya sebagai manusia.

Pendidikan tidak lagi mendapat peran memanusiakan manusia "Hakikat pendidikan menurut filsuf Brasil, Paulo Freire". Didalam perekonomian dunia, hukum rimba berlaku. Yang modalnya kuat, maka ia yang berkuasa. Produk-produk internasional memadati pasar sehingga membuat tergeserlah para pedagang-pedagang kecil, terancamlah produk-produk tradisional. Modal yang banyak membuat peluang para pemodal menjadi sangat besar untuk mengembangbiakkan keuangannya. Istilahnya, yang kaya semakin kaya sedangkan yang miskin semakin miskin.

Negara-negara berkembang seperti Indonesia terpaksa melilitkan diri pada hutang demi pelaksanaan pembangunan, agar terwujudnya mimpi menjadi negara maju. Belum lagi kalau ternyata investasi-investasi para pemodal besar gagal, imbasnya selalu ditimpakan pada pemodal kecil dan pekerja yang menggantungkan nasibnya kepada mereka. Dalam perpolitikan, uang menjadi indikator kemampuan seseorang dalam memenangkan sebuah kebijakan. Sehingga sulit untuk menghargai ide-ide politik dari seseorang untuk mengembangkan negara ketika orang tersebut tampak tidak bermodal. Mereka yang ingin berpartisipasi dalam perpolitikan, tanpa modal yang besar, pada akhirnya termarjinalkan. Dalam hal ini orang bermodal kecil, yang jumlahnya mayoritas, terpasung hak politiknya. Yang paling menakutkan lagi ialah kerusakan alam.

Kapitalisme, yang memberdayakan segala macam hal demi keuntungan semata, telah menjadi pendorong yang utama dalam mengeksploitasi sumber daya alam. Efek dari eksploitasi sumber daya alam yang paling terlihat adalah global warming, yang kini menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup. Masyarakat global sudah cukup khawatir akan hal ini. Tetapi proses industri ala kapitalisme, yang paling bertanggung jawab atas kerusakan ini tetap berlangsung, bukannya berkurang malah semakin bertambah.

Individu hasil bentukan dari kapitalisme adalah individu yang rakus. Mereka yang berada dikelas atas, berusaha keras untuk semakin tinggi, tanpa memperdulikan kemelaratan yang mungkin akan ditimbulkan pada masyarakat kelas bawah. Sedangkan mereka yang dibawah, semakin sulit bergerak dalam memikirkan sesamanya karena untuk memenuhi kebutuhan perutnya sendiripun sudah harus berusaha secara keras. Ditambah lagi dengan masyarakat kelas atas yang pamer akan sebuah kemewahan, sehingga membuat masyarakat bawah dipenuhi oleh ilusi untuk menjadi kelas atas. Semakin rakus dan egoislah mereka untuk bisa lepas dari kemelaratan.

Bila dilihat atas kegagalannya, kapitalisme ditentang. Bukan tanpa alasan, bukan sekedar kepentingan politik oleh pihak tertentu, bukan mengingkari kemajuan pembangunan yang tercapai, bukan pula mengingkari stabilitas dan keamanan yang telah terjaga. Realita dari kepercayaan warga global terhadap kapitalisme adalah lingkaran kemelaratan yang terus-menerus semakin membesar. Jika melarat, segala aspek akan terlantar. Dampak buruknya struktural, maka layakkah kapitalisme ditentang



Klik di sini untuk tahu cara belajar dan menguasai trading dengan mudah.




KONTAK KAMI PASANG IKLAN BROKER BELAJAR ANALISA ARTIKEL TERM OF USE