EUR/USD 1.067   |   USD/JPY 154.540   |   GBP/USD 1.245   |   AUD/USD 0.642   |   Gold 2,391.77/oz   |   Silver 28.68/oz   |   Wall Street 37,841.35   |   Nasdaq 15,601.50   |   IDX 7,087.32   |   Bitcoin 63,843.57   |   Ethereum 3,059.28   |   Litecoin 80.91   |   XAU/USD bullish efek masih berlanjutnya tensi konflik Israel-Iran, 18 jam lalu, #Emas Fundamental   |   Pasar bergerak dalam mode risk-off di tengah berita utama mengenai serangan Israel ke Iran, 18 jam lalu, #Forex Fundamental   |   Poundsterling menemukan area support, meskipun sentimen risk-off membuat bias penurunan tetap terjaga, 19 jam lalu, #Forex Fundamental   |   GBP/JPY bertahan di bawah level 192.00 setelah data penjualan ritel Inggris, 19 jam lalu, #Forex Teknikal   |   PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk (PJAA) mencatat jumlah pengunjung saat libur lebaran 2024 ini mencapai 432,700 orang, 1 hari, #Saham Indonesia   |   S&P 500 turun 0.2% menjadi 5,039, sementara Nasdaq 100 turun 0.4% menjadi 17,484 pada pukul 20:09 ET (00:09 GMT). Dow Jones turun 0.2% menjadi 37,950, 1 hari, #Saham AS   |   Netflix turun hampir 5% dalam perdagangan aftermarket setelah prospek pendapatannya pada kuartal kedua meleset dari estimasi, 1 hari, #Saham AS   |   Apple menghapus WhatsApp dan Threads milik Meta Platforms (NASDAQ:META) dari App Store di Cina pada hari Jumat setelah diperintahkan oleh pemerintah Cina, 1 hari, #Saham AS

Analisa Rupiah 16 - 20 Maret 2015

Penulis

Bertahannya kurs Rupiah diatas 13,000 per Dolar AS selama dua minggu terakhir mengarah pada pergeseran keseimbangan nilai tukar dari 12,500 ke 13,000. Mungkin ini saatnya untuk mengatakan 'Selamat tinggal' pada level 1 USD = 12,500 IDR.

Rekap Kurs Rupiah Minggu Lalu

Kurs Rupiah melemah jauh melebihi perkiraan pekan lalu. Setelah dibuka pada 13,248 per Dolar AS, kurs Rupiah sempat diperdagangkan flat di awal pekan namun kemudian terdepresiasi hingga sempat menyentuh 13,570 sebelum kemudian ditutup pada hari Jumat di 13,390 per Dolar AS. Tren global penguatan Dolar AS nampaknya memukul berat Rupiah di tengah ketidakpastian masa depan ekonomi Indonesia.

Survei penjualan ritel dari Bank Indonesia mengindikasikan penjualan eceran melejit 10.4% (yoy) pada bulan Januari 2015 dibanding 3.3% (yoy) pada Desember 2014, meski indikator ini belum pulih ke rekor yang dicatat sebelum kenaikan harga BBM November 2014.

 

Survei Penjualan Ritel Indonesia

Data Hasil Survei Penjualan Ritel Indonesia Februari 2014-Januari 2015

Meski begitu, secara month-to-month, angka penjualan ritel anjlok dari 5.4% ke -2.6%. Artinya, meski penjualan ritel pada Januari 2015 lebih tinggi ketimbang Januari 2014, tetapi ada penurunan dibanding penjualan ritel dalam bulan Desember dimana penjualan ritel biasa meningkat sehubungan dengan libur Natal dan Tahun Baru. Secara umum, penjualan ritel Indonesia bisa dikatakan belum mengalami peningkatan berarti.

Survei penjualan ritel/eceran merupakan salah satu indikator yang mengukur permintaan domestik. Permintaan domestik ini terutama penting karena permintaan domestik yang kuat akan mendukung berkembangnya bisnis dalam negeri. Sehingga hasil survei penjualan ritel ini menggarisbawahi tantangan dunia bisnis Indonesia saat ini setelah indeks PMI Manufaktur Indonesia terakhir tercatat terus merosot.

Sementara itu, data-data ekonomi negeri Tirai Bambu yang merupakan partner dagang utama Indonesia mengarah pada adanya sedikit pemulihan. Laju inflasi yang telah jatuh kebawah nol pada Januari mengalami kebangkitan di bulan Februari, naik dari 0.8% ke 1.4%. Namun penjualan ritel China masih stagnan, mengindikasikan masih lambannya permintaan domestik ditengah perlambatan pertumbuhan ekonomi negara tersebut.

Sedangkan menurut publikasi dari Amerika Serikat, sentimen konsumen dan penjualan ritel di negeri Paman Sam juga masih rendah. Meski begitu, seiring dengan makin mantapnya pasar tenaga, klaim pengangguran untuk minggu kedua bulan Maret kembali menurun. Pesatnya pemulihan sektor ketenagakerjaan Amerika Serikat ini kian memperkuat opini pasar bahwa bank sentral AS (the Fed) akan menaikkan suku bunganya pada pertengahan tahun ini. Sebagaimana diketahui, proyeksi kenaikan suku bunga the Fed telah memukul nilai tukar mata uang negara-negara lain di Dunia dan diprediksi masih akan terus berlanjut.

Laporan-laporan tersebut menunjukkan dua faktor penting diantara berbagai tantangan ekonomi Indonesia kedepan, yakni penurunan permintaan global dan pemulihan ekonomi AS yang mengantarkan pada kenaikan suku bunga The Fed. Keduanya menghadirkan situasi yang kompleks bagi sektor eksternal ( ekspor, impor, neraca transaksi berjalan).

 

Fundamental Minggu Ini

Pagi ini (16/3), kurs Rupiah dibuka pada 13,404 per Dolar AS dan bergerak cenderung flat. Menjelang beberapa publikasi penting dalam sepekan mendatang, nampaknya para investor masih 'wait and see'.

Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) pagi tadi menyebutkan bahwa neraca perdagangan Februari 2015 kembali surplus, meski sedikit menurun dari bulan sebelumnya. Neraca perdagangan tercatat 738.3 juta Dolar AS dengan baik ekspor maupun impor mengalami penurunan dibanding bulan Januari.

 

Neraca Perdagangan Indonesia

Data Neraca Perdagangan Indonesia Maret 2014-Februari 2015

Selain BPS yang telah merilis data neraca perdagangan di awal pekan ini, Bank Indonesia juga dijadwalkan akan membuat dua publikasi penting, yakni pengumuman suku bunga pasca Rapat Dewan Gubernur BI pada hari Selasa dan Statistik Utang Luar Negeri di hari berikutnya. Rapat Dewan Gubernur BI yang diadakan berkala memiliki salah satu agenda tetap untuk membahas tingkat suku bunga. Dalam rapat besok, RDG BI diperkirakan akan mempertahankan suku bunga tetap pada level 7.5%. Gubernur BI Agus Martowardojo sebagaimana dikutip laman berita Kontan hari ini telah mengungkapkan bahwa kebijakan moneter ketat (suku bunga tinggi) akan dipertahankan hingga tahun 2017. Alasannya, kebijakan moneter ketat akan membantu mengobati defisit neraca berjalan.

Sedangkan dari luar negeri, rapat kebijakan bank sentral AS (Federal Open Market Committee) akan menjadi pusat perhatian dunia pekan ini. Dalam rapat yang akrab disebut FOMC The Fed tersebut akan dibahas mengenai kondisi ekonomi terkini; dan dalam konferensi setelahnya, ketua the Fed Janet Yellen diharapkan akan menyampaikan petunjuk lagi terkait kondisi makroekonomi AS dan proyeksi kenaikan suku bunga. Apabila Yellen memberikan indikasi the Fed akan menunda kenaikan suku bunga, maka ada kemungkinan bagi mata uang-mata uang lain yang undervalued untuk kembali menguat, termasuk juga Rupiah.

 

Prediksi Kurs Rupiah Minggu Ini

Bertahannya kurs Rupiah diatas 13,000 per Dolar AS selama dua minggu terakhir mengarah pada pergeseran keseimbangan nilai tukar dari 12,500 ke 13,000. Hal ini nampak jika ditilik dari kondisi indikator MACD dalam chart dibawah ini.

 

USDIDR H4

USD/IDR dalam chart 4 jam dengan indikator EMA-20 (merah), EMA-60 (tosca), dan EMA-100 (coklat), Fibonacci Retracement, dan MACD

Dalam sepekan mendatang, wilayah pergerakan Rupiah terhadap Dolar AS kemungkinan akan berada diantara 13,022-13,570. Kondisi ini menyediakan kesempatan bagi Rupiah untuk menguat; namun bila kesempatan itu batal muncul, maka akan meresmikan posisi keseimbangan nilai tukar Rupiah pada 13,000 per Dolar AS dimana level itu akan sulit dipatahkan kecuali bila the Fed batal menaikkan suku bunga dalam tahun ini. Mungkin ini saatnya untuk mengucap "Selamat tinggal" pada level 1 USD = 12,500 IDR, karena semakin lama kurs Rupiah berada di kisaran 13,000an maka keseimbangan pun bergeser dan makin sulit untuk kembali ke kisaran lama-nya.

Arsip Analisa By : A Muttaqiena
225844
Penulis

Alumnus Fakultas Ekonomi, mengenal dunia trading sejak tahun 2011. Seorang News-junkie yang menyukai analisa fundamental untuk trading forex dan investasi saham. Kini menulis topik seputar Currency, Stocks, Commodity, dan Personal Finance dalam bentuk berita maupun artikel sembari trading di sela jam kerja.

Perlu tukar mata uang ?

Konversi valas ke rupiah atau sebaliknya ?
bisa lebih mudah dengan kalkulator kurs. Temukan disini.