Mengenang Sejarah Rupiah di Indonesia
61725
|
Rekap Fundamental Ekonomi 16 November - 18 Desember 2015
Setelah lama analisa rupiah ini tidak di-update, analisa kali ini akan terlebih dahulu me-review perkembangan yang telah terjadi dalam lima pekan terakhir, baik dari dalam maupun luar negeri, yang berpotensi mempengaruhi nilai tukar Rupiah hingga beberapa waktu mendatang.
1. Kenaikan Suku Bunga The Fed
Setelah lama dinantikan, akhirnya bank sentral AS memberikan kejelasan terkait tingkat suku bunganya. Pada tanggal 17 Desember lalu, The Fed memutuskan menaikkan suku bunga (Fed Rate) sebesar 25 basis poin, dan mengindikasikan bahwa mereka akan menaikkannya lagi pada tahun 2016 sebanyak empat kali.
Keputusan itu disusul oleh melejitnya bursa saham, dan melemahnya mata uang-mata uang negara berkembang, namun kondisi langsung berbalik sehari kemudian. Akhir tahun biasanya dimanfaatkan oleh investor untuk menyusun ulang portofolionya dan bagi perusahaan-perusahaan untuk menyelesaikan kewajiban-kewajiban yang tertinggal, sehingga pergerakan di pasar dalam jangka pendek akan cenderung tak menentu, terlepas dari kondisi fundamental.
Secara fundamental sendiri, banyak pihak mewanti-wanti negara berkembang agar bersiap mengantisipasi depresiasi mata uang lagi, karena pengetatan moneter AS biasanya berdampak pada menipisnya aliran dana dari luar negeri, sebagaimana yang telah terjadi pada tahun 2015. Tahun depan, dampak kenaikan suku bunga the Fed ini bagi makroekonomi Indonesia akan ditentukan oleh ketahanan makroekonomi, sistem perbankan, dan ekonomi riil negeri ini, sehingga sulit diproyeksikan.
Namun, satu hal yang pasti adalah kenaikan Fed rate akan makin membatasi kemampuan bank sentral di negara berkembang untuk menstimulus perekonomian dari segi moneter. Atau dengan kata lain, suku bunga akan tetap bertahan di level tinggi, karena pelonggaran bisa memukul ganda nilai mata uang mereka. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi bakal makin terkekang oleh tingginya suku bunga, menimbulkan dilema yang tidak mudah dipecahkan bagi pemerintah, pengusaha, maupun investor.
2. BI Rate Tetap
Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan (BI rate) pada 7.5 persen di rapat RDG bulan November dan Desember lalu, meskipun mendapatkan tekanan dari pemerintah dan kalangan pebisnis agar menurunkannya. Lebih lanjut, BI menyatakan akan lebih dulu memonitor risiko-risiko yang muncul dari kenaikan Fed Rate dan pelambatan ekonomi China, sebelum memutuskan perubahan-perubahan dalam kebijakan moneternya.
3. Cadangan Devisa Susut Lagi
Cadangan devisa Indonesia terus menyusut pada bulan Oktober dan November. Laporan cadangan devisa terbaru yang dirilis tanggal 7 Desember mencatat penurunan dari 100.7 milyar USD menjadi 100.2 milyar USD dalam bulan November 2015.
Dalam sejarahnya, cadev Indonesia sempat mencapai level tertinggi sepanjang masa pada 124,637.75 juta USD di bulan Agustus 2011, dan menyentuh rekor terendah pada 27,404.30 juta USD pada bulan Juli 2000.
4. Ekspor-Impor Masih Lesu
Neraca dagang Indonesia kembali defisit pada bulan November, anjlok dari surplus 1010 juta USD menjadi -350 juta USD. Ekspor selip lagi, sementara impor meningkat, terutama didorong oleh impor sektor nonmigas. Terlepas dari itu, tren ekspor maupun impor masih menunjukkan penurunan.
Melemahnya impor dan ekspor menandakan perlambatan aktivitas bisnis dan merosotnya konsumsi domestik. Keberlanjutan situasi ini berarti bahwa perekonomian Indonesia masih kontraksi (tertekan). Ini dikonfirmasi oleh data indeks PMI Manufaktur yang masih terus berkalang dibawah ambang 50. Indikator iklim bisnis tersebut sempat berusaha bangkit di bulan Oktober, tetapi kembali terpuruk pada bulan November.
Laporan PMI Manufaktur Indonesia yang dirilis awal bulan ini berkat kerjasama lembaga riset Markit dengan Nikkei, menyebutkan bahwa produksi turun tajam seiring merosotnya pesanan dari dalam dan luar negeri. PHK juga masih berlanjut.
5. Defisit Current Account Menipis
Impor Indonesia merosot relatif lebih cepat ketimbang ekspor, sehingga defisit current account Indonesia (neraca berjalan) menipis dan meringankan beban ekonomi secara keseluruhan. Sebagaimana bisa dilihat dibawah ini, defisit menurun dari -4.2 milyar USD menjadi -4.0 milyar USD pada kuartal tiga 2015.
Meski demikian, merosotnya aliran dana masuk (capital inflow) berisiko membahayakan neraca pembayaran. Menurut laporan WorldBank terbaru, total net capital flow pada tiga kuartal tahun ini hanya mencapai 9.6 milyar USD, anjlok 70 persen dari periode yang sama tahun lalu. Pembelian obligasi pemerintah dalam Rupiah oleh asing juga menurun 54 persen karena hilangnya daya tarik Rupiah, sedangkan utang pemerintah dalam mata uang asing justru meningkat 80 persen.
6. Inflasi Melemah
Sementara itu, tekanan inflasi kian melemah. Inflasi pada bulan November year-on-year turun dari 6.25 persen ke 4.89 persen, meski meningkat secara month-to-month dari -0.08 menjadi 0.21 persen. Sedangkan inflasi inti yang mengukur harga diluar barang-barang volatile menunjukkan penurunan signifikan dari 5.02 persen ke 4.77 persen (yoy).
Penurunan ini sedikit meragukan, dan kita perlu melihat data bulan-bulan berikutnya untuk melihat apakah ini anomali atau sesuatu yang berlangsung secara konsisten. Pada tahun 2016 mendatang, jika inflasi tetap rendah dan tekanan pada Rupiah berkurang, maka BI bisa memiliki kesempatan untuk memangkas suku bunga, meski the Fed telah menaikkan suku bunganya.
7. Kondisi Luar Negeri Yang Lain
Beberapa hal lain terkait kondisi ekonomi global patut untuk dicatat, meski pengaruhnya tak sebesar poin-poin sebelumnya. Diantaranya adalah rendahnya harga komoditas, perlambatan ekonomi China, dan maraknya pelonggaran moneter di negara-negara maju selain AS. Mengingat Indonesia banyak mengekspor komoditas, maka semakin lemah harga komoditas global, makin buruk dampaknya. Perlambatan ekonomi China juga berpotensi berimbas negatif, karena eratnya hubungan dagang antar kedua negara. Di sisi lain, pelonggaran moneter di negara-negara maju malah bisa menjadi sumber aliran dana masuk ke Indonesia setelah AS mengetatkan saku moneternya.
Demikianlah beberapa variable fundamental ekonomi yang secara langsung maupun tidak langsung bisa mempengaruhi nilai tukar Rupiah saat ini.
Prediksi Rupiah Hingga Januari 2016
Setelah sempat ambrol ke 14,700an di bulan September, kurs Rupiah menguat hingga 13,248, dan selanjutnya diperdagangkan cenderung melemah. Namun demikian, setelah menyentuh 14,133 per Dolar AS menjelang putusan the Fed pekan lalu, Rupiah berbalik menguat.
Chart USD/IDR pada timeframe D1 dengan indikator EMA-20 (merah), EMA-60 (tosca), EMA-100 (coklat), fibonacci retracement, dan MACD
Dilihat dari posisi Rupiah sekarang, ada peluang untuk menguat hingga 13,580, meski masih ada risiko untuk melemah juga. Fundamental Rupiah pada dasarnya meragukan, sehingga volatilitas akan tetap tinggi hingga memasuki tahun 2016.
Kurs Rupiah terhadap Dolar AS hingga pertengahan Januari 2016 diperkirakan akan bergerak antara 13,580-14,133, yang merupakan level keseimbangannya saat ini, selama volatilitas tetap; dalam arti tidak ada pemicu yang secara kuat mengubah proyeksi fundamental ke depan ataupun pergerakan drastis sejenisnya di pasar. Apabila 13,580 ditembus, maka itu akan membuka peluang penguatan Rupiah menuju kisaran 13,400an, atau lebih dari itu, ke 13,248 per Dolar AS.