EUR/USD 1.066   |   USD/JPY 154.370   |   GBP/USD 1.246   |   AUD/USD 0.644   |   Gold 2,376.39/oz   |   Silver 28.30/oz   |   Wall Street 37,775.38   |   Nasdaq 15,601.50   |   IDX 7,044.68   |   Bitcoin 63,512.75   |   Ethereum 3,066.03   |   Litecoin 80.80   |   PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk (PJAA) mencatat jumlah pengunjung saat libur lebaran 2024 ini mencapai 432,700 orang, 18 menit lalu, #Saham Indonesia   |   S&P 500 turun 0.2% menjadi 5,039, sementara Nasdaq 100 turun 0.4% menjadi 17,484 pada pukul 20:09 ET (00:09 GMT). Dow Jones turun 0.2% menjadi 37,950, 19 menit lalu, #Saham AS   |   Netflix turun hampir 5% dalam perdagangan aftermarket setelah prospek pendapatannya pada kuartal kedua meleset dari estimasi, 26 menit lalu, #Saham AS   |   Apple menghapus WhatsApp dan Threads milik Meta Platforms (NASDAQ:META) dari App Store di Cina pada hari Jumat setelah diperintahkan oleh pemerintah Cina, 28 menit lalu, #Saham AS

Melihat Volatilitas Saham-Saham Big Caps Ketika Market Crash

Penulis

IHSG tercatat turun 6 persen selama pertengahan Februari hingga saat ini. Saham Big Caps apa sajakah yang memiliki tingkat volatilitas cukup tinggi ketika market sedang bearish?

Kinerja IHSG sejauh ini memasuki tren bearish, atau dengan kata lain memasuki masa-masa penurunan harga. Jika kita ambil sampel sejak periode pertengahan Februari hingga saat ini (19 Maret), sangat jelas IHSG mulai bergerak turun secara perlahan dan menembus level harga Moving Average (MA) 20 dan MA50. Terakhir kali IHSG diperdagangkan di bawah MA50 adalah pada bulan November 2017 lalu, dan sejak saat itu indeks terus mencatat rekor serta rally.

 

Saham-saham big caps saat market crash

 

 

Kali ini, kita akan simak volatilitas pasar saham khususnya IHSG, beserta saham-saham Big Caps yang sejatinya sangat mempengaruhi penurunan IHSG sejauh ini. Volatilitas menurut artikel Seputarforex adalah besarnya jarak antara fluktuasi (naik turunnya) harga saham atau valas. Volatilitas tinggi berarti harga naik tinggi dengan cepat lalu tiba-tiba turun tajam dengan cepat pula, sehingga memunculkan selisih sangat besar antara harga terendah dan harga tertinggi dalam suatu waktu.

Jika volatilitas rendah, maka risiko pasar pun cenderung rendah. Sebaliknya jika volatilitas tinggi, maka risiko juga akan semakin besar. Tinggi rendahnya risiko yang terbentuk tentu akan mempengaruhi imbal hasil investor.

Salah satu tools yang dapat digunakan untuk mengukur nilai volatilitas secara sederhana ialah dengan membagi standar deviasi, antara periode perhitungan dengan rata-rata harga saham selama periode perhitungan. Dalam kasus ini, kita akan mencoba memakai periode perhitungan sejak awal IHSG mencapai level tertinggi hingga penurunannya, yakni sejak bulan 19 Februari hingga 19 Maret.

 

Grafik Volatilitas Saham Big Caps

Grafik Volatilitas Saham Big Caps

 

 

Dari gambar di atas, kita dapat melihat bahwa ternyata IHSG memiliki volatilitas 1.8% selama periode koreksi (tren bearish-nya). Menariknya, beberapa saham Blue Chip yang kami himpun ternyata memiliki rata-rata angka volatilitas lebih tinggi dari IHSG; hanya BBRI saja yang volatilitasnya lebih kecil dari IHSG.

Lalu apa yang mempengaruhi volatilitas IHSG dan saham-saham Big Caps lainnya selama periode penelitian?

Jika kita ingat, market akhir-akhir ini cukup bergejolak karena kekhawatiran akan kenaikan suku bunga The Fed yang diawali oleh kenaikan Yield surat hutang AS bertenor 10 tahun. Selain itu, kuatnya inflasi AS semakin menunjang nilai mata uang AS akhir-akhir ini, dan mengakibatkan nilai tukar Rupiah terdepresiasi sampai ke level Rp13,800,- per Dolar AS. Dalam beberapa penelitian disebutkan, pengaruh variabel makro seperti nilai tukar Rupiah dan suku bunga akan mempengaruhi nilai volatilitas secara signifikan. Singkat kata, kita dapat menyimpulkan bahwa kedua faktor inilah yang membuat market sedikit crash dan mempengaruhi saham-saham Big Caps di dalamnya.

 

Mengapa Big Caps?

Karena Big Caps berisikan saham-saham yang memiliki kapitalisasi pasar cukup besar. Portofolionya pun bukan hanya dimiliki oleh segelintir investor ritel, tetapi juga investor kelas kakap (institusional dan asing). Seiring dengan kenaikan risiko suku bunga AS dan imbal hasil di pasar saham yang diekspektasikan turun karena faktor risk-free rate, investor berbondong-bondong mengurangi investasinya (untuk sementara waktu) di beberapa saham-saham Big Caps.

Sebagai catatan tambahan, jika suatu portofolio reksadana memiliki saham-saham Big Caps tersebut, maka dipastikan imbal hasil (return) reksadana saham Anda juga akan mengalami risiko penurunan.

Kinerja saham-saham Big Caps selama Periode 19 Februari - 16 Maret:

  1. HMSP: -11%, saat ini diperdagangkan pada standar deviasi rata-rata dalam 3 tahun terakhirnya, P/E 38.33x.

  2. ASII: -12%, saat ini diperdagangkan pada -1 standar deviasi dalam 3 tahun terakhirnya, P/E 15.71x.

  3. BBCA: -4%, saat ini diperdagangkan pada +1 standar deviasi dalam 3 tahun terakhirnya, P/BV 4.37x.

  4. BBRI: -5%, saat ini diperdangakan pada +1 standar deviasi dalam 3 tahun terakhirnya, P/BV 2.73x.

  5. TLKM: -6%, saat ini diperdagangkan pada -2 standar deviasi dalam 3 tahun terakhirnya, P/E 17.43x.

  6. UNVR: -9%, saat ini diperdagangkan pada rata-rata standar deviasi dalam 3 tahun terakhirnya, P/E 54.36x.

  7. BMRI: -6%, saat ini diperdagangkan pada +1 standar deviasi dalam 3 tahun terakhirnya, P/BV 2.27x.

  8. BBNI: -4%, saat ini diperdagangkan pada +1 standar deviasi dalam 3 tahun terakhirnya, P/BV 1.82x.

  9. GGRM: -8%, saat ini diperdagangkan pada rata-rata standar deviasi dalam 3 tahun terakhirnya, P/E 18.95x.

  10. UNTR: -15%, saat ini diperdagangkan pada -1 standar deviasi dalam 3 tahun terakhirnya, P/E 16.33x.

 

 

Kesimpulan

Dari beberapa saham Blue Chips yang sudah melemah, patut diperhatikan beberapa saham yang saat ini sudah mulai bergerak di level terendahnya secara rata-rata, seperti saham TLKM, UNTR, dan ASII. Jika ada berita corporate yang positif, maka dapat dipastikan saham tersebut akan rebound dengan sendirinya.

Arsip Analisa By : Aditya Putra
282891
Penulis

Aditya Putra telah aktif di dunia saham selama lebih dari 6 tahun dan hingga saat ini masih menjadi seorang Equity Analyst di perusahaan sekuritas. Aditya menyukai Value Investing, selalu berhasrat menemukan Hidden Gems di saham-saham Small Caps Indonesia, dan terus mengamati saham-saham yang salah harga.