EUR/USD 1.082   |   USD/JPY 151.420   |   GBP/USD 1.263   |   AUD/USD 0.653   |   Gold 2,188.79/oz   |   Silver 24.68/oz   |   Wall Street 39,760.08   |   Nasdaq 16,399.52   |   IDX 7,264.78   |   Bitcoin 69,455.34   |   Ethereum 3,500.12   |   Litecoin 93.68   |   BEI tengah merancang aturan tentang Liquidity Provider atau penyedia likuiditas untuk meningkatkan transaksi pada saham-saham di papan pemantauan khusus, 5 jam lalu, #Saham Indonesia   |   PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) meraup pendapatan usaha sebesar $1.70 miliar pada tahun 2023, 5 jam lalu, #Saham Indonesia   |   PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. (INTP) siap memasok 120,000 ton semen curah dalam satu tahun untuk memenuhi kebutuhan semen di proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, 5 jam lalu, #Saham Indonesia   |   S&P 500 turun 0.1% menjadi 5,304, sementara Nasdaq 100 turun 0.1% menjadi 18,485 pada pukul 19:16 ET (23:16 GMT). Dow Jones turun 0.1% menjadi 40,119, 5 jam lalu, #Saham Indonesia

Memahami Kondisi Ekonomi Makro Indonesia Saat Ini

Penulis

Meski angka pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua lalu sedikit mengejutkan, masih ada pesimisme di kalangan investor. Sebenarnya, seperti apa kondisi ekonomi Indonesia saat ini?

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua lalu mencapai 5.27% (yoy), pencapaian tertinggi dalam dua kuartal terakhir. Kenaikan konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh faktor musiman, seperti Hari Raya Idul Fitri dengan pemberian THR pada para pensiunan, serta gaji ke-13 khusus di tahun ini, yang mendorong komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga (PK-RT) naik +0.04% dibanding kuartal sebelumnya. Sebagaimana kita ketahui bersama, sumber pertumbuhan ekonomi terbesar memang berasal dari pengeluaran konsumsi rumah tangga, lalu kemudian diikuti oleh porsi investasi.

Menurut laporan International Monetary Fund (IMF) yang berjudul Capital Account Crises: Lesson for Crisis Prevention, Indonesia rentan krisis pada tahun 1997/1998, karena hutang pemerintah dari sektor eksternal yang tinggi dan terkonsentrasi di sektor Perbankan. Hal ini khususnya tertuju pada kredit properti dan pinjaman perusahaan yang lebih tinggi dari modal. Jadi ketika Rupiah jatuh dan terdepresiasi, hutang dalam mata uang asing yang jatuh tempo di jangka pendek gagal dibayar, dan membuat ekonomi Indonesia sangat sulit keluar dari jurang masalah.

 

Grafik USD/IDR

Memahami Kondisi Ekonomi Makro

 


Bagaimana Gambaran Ekonomi Indonesia Saat Ini?

Beberapa permasalahan di atas satu-persatu mulai teratasi. Namun satu yang belum dapat dihilangkan ialah soal mata uang. Ya, lagi-lagi mata uang. Baru-baru ini, kejadian di Turki bisa menjadi peringatan, bahwa pelemahan mata uang yang terus-menerus membuat ekonomi Negara tersebut menjadi sangat sulit; pertumbuhan ekonomi turun, inflasi naik, konsumsi melemah.

Kurs Rupiah sempat mencapai level terbaiknya di medio tahun 2000-an, sebelum akhirnya secara pasti terus melemah sejak tahun 2011 hingga saat ini. Ketika Rupiah melemah di tahun 2011, transaksi berjalan mulai menunjukkan gejala pelebaran defisit sejak tahun 2010.

Meski inflasi Indonesia terlihat menurun sejak tahun 2016, tapi tidak serta merta membuat Rupiah menguat, mengingat kenaikan suku bunga acuan di AS sejak tahun 2016 lalu membuat permasalahan baru untuk Rupiah. Seperti yang kita ketahui bersama, kenaikan suku bunga membuat hot money flows menuju Negara yang memberikan imbal hasil tinggi, dalam konteks ini ialah Amerika Serikat (AS).

Sejauh ini, Bank Indonesia (BI) sudah melakukan antisipasi moneter dengan kenaikan suku bunga acuan sebesar 125bps. Meski pelemahan Rupiah sedikit tertahan pasca kebijakan tersebut, tapi Rupiah tidak berhasil menguat signifikan karena potensi dari kenaikan suku bunga acuan The Fed masih akan berlangsung ke depannya.

Saat ini, pijakan kita tertuju pada Current Account Deficit (CAD) yang sejak tahun 2010 lalu terus melebar. Di kuartal kedua tahun ini, CAD mencapai minus terbesar di -$8 miliar. CAD yang semakin lebar berarti permintaan impor lebih banyak daripada ekspor. Jika kita impor, maka tentu harus menyiapkan uang dalam mata uang asing untuk membayar barang-barang yang kita beli.

Permintaan mata uang asing pun naik dan menurunkan nilai mata uang domestik, dan semakin tinggi permintaan mata uang asing, maka nilai mata uang domestik menjadi melemah (supply-demand). Baru-baru ini, kondisi semakin kurang menyenangkan, karena Current Account yang negatif akan membuat terpuruknya mata uang serta memicu kenaikan harga barang.

 

Grafik Posisi CAD/PDB

Memahami Kondisi Ekonomi Makro

 

Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa ada sekitar 500 komoditas yang akan dihentikan impornya, antara lain produk kertas dan kayu, karet dan plastik, serta minyak kelapa sawit. Hal ini sebagai langkah yang coba dilakukan oleh pemerintah guna menangkal kenaikan defisit transaksi berjalan.

 

Bagaimana Dengan Kinerja Hutang Indonesia?

Hingga bulan April 2018, posisi utang luar negeri Indonesia berada di angka 356 miliar USD, atau dalam lima tahun terakhir (2013-2018) naik +33%. Dari total hutang tersebut, sebagian besar diperuntukan untuk administrasi pemerintah, pertahanan, jasa keuangan dan asuransi, serta industri pengolahan. Kemudian sekitar 67% total hutang berada dalam bentuk mata uang USD, dengan posisi jatuh tempo porsi hutang jangka pendek sekitar 13%, dan 87% sisanya adalah hutang dalam jangka waktu di atas 1 tahun. Sejak tahun 2014, rasio hutang sudah di atas 30% dari total PDB, dengan angka terakhir di 34.77%.

Jika dibandingkan dengan Negara-negara Asia lainnya dalam konteks Debt/GDP, seperti Malaysia, Thailand, China, Korea Selatan, Singapura, Indonesia relatif masih rendah, bahkan merupakan yang terendah jika dibandingkan dengan negara-negara tersebut.

 

Grafik Hutang Luar Negeri Indonesia

Memahami Kondisi Ekonomi Makro

 

Apakah Indonesia Akan Bernasib Sama Seperti Argentina?

Risiko neraca bukan hanya terjadi pada perusahaan secara mikro, tapi juga secara makro. Ketidakseimbangan neraca keuangan, mismatch antara aset likuid dengan kewajiban jangka pendek, merupakan awal dari krisis moneter yang besar.

Dalam laporan IMF, disebutkan bahwa kasus di Argentina pada tahun 2001 lalu memberikan pelajaran mengenai ketidaksesuaian mata uang dan neraca sektor publik serta swasta, yang dapat berinteraksi untuk memperburuk kerentanan. Mata uang asing mendominasi sekitar 62% dari total hutang publik terhadap PDB Argentina saat itu. Ketika terjadi depresiasi mata uang dan periode hutang jangka pendek menjadi trigger, maka hal itu sekejap langsung memperburuk keadaan. Ceritanya jelas, ekonomi Argentina terus menukik.

Posisi Indonesia jelas lebih baik dari cerita krisis di Argentina lalu. Saat ini, posisi hutang jangka pendek Indonesia hanya sekitar 13% dari total hutang luar negeri. Terhitung jauh? Iya. Namun jika akhir-akhir ini kita mendengar potensi penerimaan negara yang gagal mencapai target, serta pelemahan Rupiah yang semakin menjadi-jadi, tentu pada akhirnya akan mengancam kerentanan neraca keuangan.

Lalu jika kita melihat neraca keseluruhan di neraca pembayaran Indonesia hingga kuartal kedua tahun ini, maka sudah ada alarm buat pemerintah, karena posisi neraca keseluruhan saat ini adalah yang terburuk dalam dua tahun terakhir. Penyebab terbesarnya adalah kenaikan defisit transaksi berjalan Indonesia yang tak dapat terbantu dari transaksi finansial.

Permasalahan ini akan terus berulang dan solusi instan bisa saja dipakai. Namun saya sebenarnya lebih tertarik jika stabilnya nilai tukar Rupiah dipengaruhi oleh kondisi fundamental ekonomi, yang bisa dilakukan jika suatu negara bisa menggabungkan inflasi rendah, kenaikan produktivitas industri dan tenaga kerja, serta politik yang stabil.

Hal ini berlaku dalam jangka panjang, tapi upaya awal sudah terlihat dari progresifnya pembangunan infrastruktur dan peningkatan kualitas SDM. Namun sayangnya, ini tahun politik. Akan ada banyak pertimbangan untuk melakukan kebijakan yang tidak populis.

Arsip Analisa By : Aditya Putra
284987
Penulis

Aditya Putra telah aktif di dunia saham selama lebih dari 6 tahun dan hingga saat ini masih menjadi seorang Equity Analyst di perusahaan sekuritas. Aditya menyukai Value Investing, selalu berhasrat menemukan Hidden Gems di saham-saham Small Caps Indonesia, dan terus mengamati saham-saham yang salah harga.