iklan | iklan |
Sejak awal tahun 2016, harga komoditas minyak terus bergejolak. Setelah ambruk ke level terendah kisaran $30 per barel di bulan Februari, bangkit hingga 20%, lalu anjlok lagi, dan kini kembali di antara $45-50 per barel. Banyak hal diklaim sebagai penyebabnya, mulai dari prospek pembekuan produksi minyak OPEC, kebakaran di pusat eksplorasi minyak Kanada, dan lain sebagainya. Akan tetapi, tak pelak bahwa tingkah polah spekulan merupakan salah satu faktor kunci yang mengendalikan harga komoditas minyak.
Ini bukan sesuatu yang baru. Makin berkembangnya pasar komoditas berjangka disinyalir mengakibatkan makin memudarnya dampak faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi supply dan demand terhadap harga minyak.
Harga Minyak Futures vs Spot
Dalam pasar komoditas berjangka, pelaku pasar bisa siapa saja, baik itu orang perusahaan yang sungguh-sungguh memiliki kebutuhan untuk jual-beli komoditas dan lindung nilai, maupun mereka yang hanya mengincar keuntungan dari pergerakan harga sementara. Transaksi pun sudah bisa sepenuhnya dilakukan secara elektronik dan real time, berbeda dengan beberapa dekade lalu saat perintah jual-beli harus dikirim secara tertulis atau via telepon. Akibatnya, kini kerap terjadi pergerakan harga jangka pendek maupun jangka menengah yang semata-mata disebabkan oleh spekulasi atau euforia pasar, belum tentu karena perubahan fundamental yang benar-benar signifikan.
Di sisi lain, peran bursa komoditas semakin penting dalam proses penemuan harga komoditas minyak. Bursa New York Mercantile Exchange (NYMEX) di Amerika Serikat dan ICE Futures di Inggris memegang posisi vital dengan dijadikannya kontrak berjangka minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) dan North Sea Brent (Brent) sebagai harga acuan internasional. Bursa minyak terpenting ketiga, Dubai Mercantile Exchange (DME) di mana Dubai Crude diperdagangkan pun masih berkiblat ke dua bursa tadi.
Dalam sebuah laporan hasil penelitian yang dipublikasikan Maret 2012, Bassam Fattouh, Lutz Killian, dan Lavan Mahadeva dari Univesitas Oxford membeberkan beberapa temuan mereka tentang peran spekulasi di pasar minyak. Dua hal diantaranya cukup mengejutkan. Pertama, ada bukti yang jelas tentang meningkatnya financialization (kapitalisme finansial di mana perdagangan dilakukan dengan leverage) di pasar minyak berjangka. Kedua, tak ada bukti kalau kenaikan harga minyak futures diikuti oleh kenaikan harga minyak spot. Harga minyak spot masih bisa diproyeksikan berdasarkan fundamental ekonomi, berbeda dengan harga minyak futures.
81% Spekulasi?
Pergerakan harga minyak berjangka WTI di tahun 2008 mengkonfirmasi lebih lanjut peran spekulator ini. Rakesh Upadhyay dari lembaga konsultan Divergente LLC Amerika Serikat, menuturkan dalam kolomnya di OilPrice bahwa harga minyak naik lebih dari dua kali lipat tahun 2007-2008, sampai kemudian memuncak pada $147.27 per barel tahun 2008. Sejumlah pakar menyebut itu adalah karena Saudi tidak menaikkan produksi padahal permintaan meningkat, tetapi sebagian orang lain menunjuk itu sebagai ulah spekulan. Tak lama kemudian harga ambruk, masih disinyalir karena aksi take-profit spekulan lagi.
Hasil investigasi CFTC yang dipublikasikan The Washington Post pada Agustus 2008 mencatat bahwa 81 persen dari semua kontrak berjangka minyak di NYMEX ditransaksikan oleh perusahaan-perusahaan finansial besar yang berspekulasi untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri ataupun untuk klien-klien mereka. Trader milyuner George Soros pun mengatakan bahwa penanaman dana perusahaan-perusahaan finansial besar di indeks komoditas telah menggembungkan pasar.
Akademisi F. William Engdahl dalam paper-nya pun mencatat fenomena serupa dua tahun sebelumnya. Pada Juni 2006 ketika harga minyak berjangka di kisaran $60, Senat Amerika Serikat melakukan investigasi yang menghasilkan estimasi bahwa sekitar $25 dari harga itu adalah disebabkan karena spekulasi finansial. Dengan perusahaan-perusahaan finansial besar membeli kontrak berjangka banyak-banyak, maka harga minyak futures tergenjot ke level yang lebih tinggi daripada seharusnya.
Membesar-besarkan Situasi
Setelah 2008, harga komoditas minyak masih mampu menanjak di kisaran $100 hingga tahun 2014. Tentang ini, sebuah liputan Bloomberg mengungkap bahwa OPEC menuding jatuhnya harga minyak antara bulan Juni 2014 hingga Januari 2015 sebagai ulah spekulan, meskipun sebagian pihak lainnya menuduh OPEC yang bertingkah.
Walaupun begitu, Upadhyay mengingatkan bahwa para spekulan tidak akan membuka posisi yang berlawanan dengan fundamental. Spekulan hanya memperparah situasi ketika harga jatuh, atau mendorong makin tinggi ketika harga naik dengan membuka posisi long atau short secara agresif. Namun demikian, harga akan selalu kembali sesuai dengan tingkat fundamental-nya, baik dari posisi yang terlalu tinggi jadi anjlok ataupun dari posisi terlalu rendah lalu menanjak. Meskipun setelah itu, spekulan paling-paling hanya akan meralat posisi dan kembali membesar-besarkan situasi.
Komentar : 1