Seputarforex.com - Dolar AS menguat pesat terhadap mata uang-mata uang mayor. Di sesi perdagangan Rabu (18/Maret) malam, Indeks Dolar AS (DXY) memecahkan rekor kenaikan tertinggi sejak 2017 dan mencapai level 101.57. Di sisi lain, EUR/USD ambruk 1.57 persen ke 1.0832, terendah sejak 20 Februari lalu.
Meningkatnya permintaan terhadap Dolar AS membuat hampir semua mata uang lain terpukul. Rupiah yang merupakan salah satu Emerging Currencies juga ambles, dengan kurs Dollar-Rupiah ditutup di 15,219, level terlemah sejak akhir Oktober 2018.
Penguatan Dolar AS Menggila, Bank Sentral Fokus Respon Corona
Dalam dua pekan saja, Dolar AS sudah meroket hingga 5 persen. Kondisi paling parah dirasakan oleh mata uang-mata uang negara yang mengandalkan ekspor, seperti Dolar Australia dan Dolar New Zealand.
"Ini semua berakar dari kekurangan Dolar AS. Orang-orang sangat gugup. ... Semua orang mencemaskan virus Corona, harga minyak, pekerjaan mereka, dan semuanya," komentar Gunter Seeger, analis dari PineBridge Investment, New York.
Bank-bank sentral dunia saat ini tengah gencar melakukan pelonggaran moneter ataupun injeksi stimulus demi menanggulangi dampak ekonomi akibat pandemi Corona. Setelah memotong suku bunga dua kali dalam bulan ini, The Fed menyatakan akan mengaktifkan kembali fasilitas pendanaan yang pernah digunakan di masa krisis finansial tahun 2008 silam. Tujuannya agar bisa memberikan kredit secara langsung ke bisnis-bisnis dan masyarakat.
Sementara itu, baik bank sentral Eropa (ECB) maupun bank sentral Inggris (BoE) akan segera menggelar lelang Dolar AS. Bank sentral Swiss -yang pernah menggebrak pasar dengan SNB Bomb pada tahun 2015 lalu- akan segera rapat dan berpotensi menerapkan kebijakan luar biasa lagi demi mengamankan ekonomi Swiss.
"Ini tentang menguatnya Dolar AS. Kebijakan The Fed sudah lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa. Sedangkan di waktu yang sama, fokus semua orang tertuju pada sinyal kapan krisis (Corona) ini akan berakhir," kata Jane Foley, analis senior di RaboBank.
"Semua orang paham akan kekurangan bank-bank sentral. Lembaga itu tidak bisa benar-benar membuat orang-orang kembali berbelanja," tambah Foley.