iklan |
iklan |
Seputarforex - Kurs GBP/USD mengalami volatilitas yang sangat tinggi selama dua hari belakangan ini. Sterling sempat meroket ke level tertinggi 1.2180-an kemarin berkat kondisi pasar tenaga kerja yang lebih baik dari ekspektasi. Namun, posisinya langsung merosot akibat apresiasi greenback dalam sesi yang sama.
Kurs pound sterling makin terdepresiasi menyusul publikasi data inflasi Inggris tadi sore dan penjualan ritel AS malam ini. Saat berita ditulis pada awal sesi New York (15/Februari), GBP/USD telah menginjak level terendah satu pekan pada 1.1989.
Grafik GBP/USD Daily via TradingView
Kantor Statistik Nasional melaporkan bahwa harga-harga di Britania Raya membukukan penurunan sebesar -0.6% (Month-over-Month) pada Januari 2023. Angka tersebut jauh lebih lemah dibandingkan estimasi konsensus yang sebesar -0.4%. Indeks harga konsumen inti bahkan jatuh lebih tajam sebesar -0.9% (Month-over-Month) dalam periode yang sama.
Indeks harga konsumen Inggris saat ini menampilkan tren disinflasi yang nyata dan berkelanjutan selama tiga bulan berturut-turut. Laju inflasi utama menurun dari 10.5% ke 10.1% dalam basis tahunan, sementara laju inflasi inti ambles dari 6.3% ke 5.8%.
Pelaku pasar menganggapnya sebagai sinyal dovish untuk kebijakan bank sentral Inggris (BoE) ke depan. Akibatnya, kejatuhan data-data inflasi Inggris memicu kemerosotan nilai tukar pound sterling terhadap berbagai mata uang lain.
Kurs EUR/GBP mencuat untuk pertama kalinya dalam lebih dari sepekan. GBP/JPY juga terbanting dari ambang resistance penting pada 162.00 untuk keempat kalinya sejak Desember.
"Pelemahan dalam inflasi jasa inti adalah risiko bagi prediksi kami untuk kenaikan (suku bunga BoE) sebesar 25 bps pada Maret, yang merupakan skenario dasar kami dikarenakan kekuatan di pasar tenaga kerja," kata Abbas Khan, ekonom di Barclays, "Babak berikutnya dari data inflasi dan pasar tenaga kerja, yang akan dirilis sebelum rapat (BoE) Maret, akan menjadi kunci."