Seputarforex.com - Brent Crude turun tipis dari USD78.28 ke USD77.10 per barel pada minggu lalu; setelah Arab Saudi meyakinkan publik bahwa mereka siap menalangi kekurangan pasokan minyak global. Namun, harga minyak dunia masih berada di kisaran tertinggi sejak tahun 2014. Bahkan, West Texas Intermediate (WTI) mengalami kenaikan dari USD73.56 pada awal pekan menjadi USD73.87 per barel. Kecenderungan menguat masih nampak, sehingga Presiden AS Donald Trump lagi-lagi menyampaikan kemarahannya pada OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries).
Kepentingan Politik Trump
Pekan lalu, Arab Saudi menyatakan bahwa mereka telah menaikkan output minyak sebesar nyaris 500,000 barel per hari (bph) pada bulan Juni, sehingga total output mencapai 10.5 juta bph. Negara eksportir minyak terbesar dunia tersebut telah berjanji pada AS akan meningkatkan laju produksi seperlunya, dalam rangka mengimbangi penurunan pasokan global akibat krisis di Venezuela, sanksi atas Iran, dan kendala internal Libya.
Langkah Arab Saudi itu belum mampu menekan harga minyak dari kisaran termahal dalam empat tahun terakhir. Akibatnya, Donald Trump murka. Ia menulis pada akun Twitternya, "(Pemegang) monopoli OPEC harus ingat bahwa harga BBM naik dan mereka kurang membantu. Bahkan, mereka mendorong harga naik lebih tinggi meski Amerika Serikat melindungi banyak anggotanya dengan imbalan sedikit Dolar. Ini harus dua arah. PANGKAS HARGA SEKARANG!"
The OPEC Monopoly must remember that gas prices are up & they are doing little to help. If anything, they are driving prices higher as the United States defends many of their members for very little $’s. This must be a two way street. REDUCE PRICING NOW!
— Donald J. Trump (@realDonaldTrump) July 4, 2018
Menurut Reuters, kenaikan harga BBM dapat menciptakan masalah politik bagi Trump menjelang pemilu sela Kongres pada bulan November. Masalahnya, kenaikan harga BBM menumpulkan klaim partai Republik pendukungnya bahwa kebijakan pemangkasan pajak dan penghapusan sejumlah regulasi federal telah membantu menggairahkan perekonomian AS. Padahal, kenaikan harga minyak saat ini merupakan salah satu konsekuensi dari keputusan Presiden Trump sendiri untuk mangkir dari kesepakatan internasional tahun 2015 tentang nuklir Iran, menerapkan sanksi kembali, dan mengancam negara-negara lain yang masih mengimpor minyak Iran.
Aktivitas Produksi Minyak AS Kurang Berdampak
Sementara itu, Amerika Serikat terus menggenjot produksi minyaknya. Laporan Baker Hughes pada akhir pekan menunjukkan perusahaan-perusahaan energi AS menambah 5 rigs dalam periode sepekan yang berakhir tanggal 6 Juli. Total oil drilling rigs di negeri Paman Sam kini mencapai 863, terbanyak sejak Maret 2015. Namun, data tersebut agaknya tak terlalu berdampak besar bagi harga minyak saat ini.
Ketika berita ditulis pada awal perdagangan sesi Asia hari Senin (9/Juli), Brent Crude naik 0.39% ke USD77.40 per barel. Harga minyak acuan AS, WTI, juga menanjak 0.23% ke USD74.04 per barel. Sepekan ke depan, data-data inventori minyak AS dan laporan Baker Hughes akan kembali diamati pasar, di samping simpang siur kepentingan politik OPEC dan AS di pasar minyak.