EUR/USD 1.067   |   USD/JPY 154.540   |   GBP/USD 1.245   |   AUD/USD 0.642   |   Gold 2,393.93/oz   |   Silver 28.68/oz   |   Wall Street 37,841.35   |   Nasdaq 15,601.50   |   IDX 7,087.32   |   Bitcoin 63,512.75   |   Ethereum 3,066.03   |   Litecoin 80.80   |   XAU/USD bullish efek masih berlanjutnya tensi konflik Israel-Iran, 11 jam lalu, #Emas Fundamental   |   Pasar bergerak dalam mode risk-off di tengah berita utama mengenai serangan Israel ke Iran, 11 jam lalu, #Forex Fundamental   |   Poundsterling menemukan area support, meskipun sentimen risk-off membuat bias penurunan tetap terjaga, 11 jam lalu, #Forex Fundamental   |   GBP/JPY bertahan di bawah level 192.00 setelah data penjualan ritel Inggris, 11 jam lalu, #Forex Teknikal   |   PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk (PJAA) mencatat jumlah pengunjung saat libur lebaran 2024 ini mencapai 432,700 orang, 17 jam lalu, #Saham Indonesia   |   S&P 500 turun 0.2% menjadi 5,039, sementara Nasdaq 100 turun 0.4% menjadi 17,484 pada pukul 20:09 ET (00:09 GMT). Dow Jones turun 0.2% menjadi 37,950, 17 jam lalu, #Saham AS   |   Netflix turun hampir 5% dalam perdagangan aftermarket setelah prospek pendapatannya pada kuartal kedua meleset dari estimasi, 17 jam lalu, #Saham AS   |   Apple menghapus WhatsApp dan Threads milik Meta Platforms (NASDAQ:META) dari App Store di Cina pada hari Jumat setelah diperintahkan oleh pemerintah Cina, 17 jam lalu, #Saham AS

HSBC: Lupakan Perang Mata Uang, Sekarang Saatnya Perang Deflasi

Penulis

Dalam catatannya, HSBC juga menyebutkan bahwa masa moneter sekarang ini layaknya perang mata uang. Daripada menghilangkan kecenderungan deflasi, bank-bank sentral lebih memilih menggelontorkan stimulus moneter untuk mengekspor deflasi ke negara lain di dunia.

Meskipun semua likuiditas ditumpahkan demi sistem keuangan pelongggaran kuantitatif, inflasi masih saja rendah dan mengkhawatirkan dan hal tersebut kemungkinan bank-bank sentral yang masih berupaya untuk mengekspor deflasi, demikian yang diungkapkan oleh HSBC.

perang_mata_uang
Dalam catatannya, HSBC juga menyebutkan bahwa masa moneter sekarang ini layaknya perang mata uang. Daripada menghilangkan kecenderungan deflasi, bank-bank sentral lebih memilih menggelontorkan stimulus moneter untuk mengekspor deflasi ke negara lain di dunia. Anjloknya nilai tukar yang cukup besar menjadi sebuah gejala awal diadakannya pelonggaran kuantitatif dari bank-bank sentral global, yang secara temporer meningkatkan inflasi bagi negara-negara "penyelenggara".

Namun, tak dapat dihindari bahwa dalam setiap penurunan sebuah nilai mata uang, pasti ada kenaikan di nilai mata uang lain. Dan bagi mata uang lain yang terkena dampak kenaikan nilai mata uang, pada akhirnya mengalami inflasi yang lebih rendah daripada yang diprediksikan atau bahkan jauh lebih rendah dari yang diharapkan seperti yang terjadi pada zona Euro dalam seester kedua tahun ini.

Kecuali Jepang, semua wilayah baru-baru ini telah mengalami kemerosotan yang tak terduga dalam inflasi. Hal tersebut mungkin dikarenakan oleh suku bunga yang diefektifkan di kisaran nol, sehingga stimulus moneter lebih mendorong harga-harga aet tanpa memacu pertumbuhan ekonomi lebih cepat. Rendahnya inflasi menghadirkan bahaya yang cukup serius bagi pemulihan ekonomi.

"Dalam siklus ekonomi standar, aktivitas mengarah kepada inflasi." demikian pernyataan HSBC. "Dalam sebuah lingkungan pasca bubble, dimana utang sangat tinggi dan deleveraging (penurunan pemberian utang) menyebar luas, hal yang berlaku sebaliknya adalah inflasi yang rendah akhirnya meningkatkan level-level utang sehingga menyulitkan deleveraging dan biasanya akan menekan permintaan dan aktivitas.

Jepang, lagi-lagi, adalah sebuah contoh nyata negara yang sempat mencatatkan pemulihan pada pertengengahan tahun 90-an namun akhirnya harus kembali tergelincir akibat adanya kombinasi deflasi yang terus merangkak serta kebijakan pengetatan yang terlalu dini.

149624
Penulis

SFN merupakan hasil kerjasama beberapa personel tim Seputarforex untuk mengulas berita-berita terkini di bidang forex maupun saham.