Aktivitas manufaktur China bulan November yang dirilis Markit pada hari Selasa (02/Desember), secara tidak terduga naik ke level tertinggi dalam hampir 3 tahun terakhir. Data yang juga disebut sebagai Caixin Manufacturing PMI tersebut berada di angka 51.8, berhasil mematahkan ekspektasi penurunan dari 51.7 menjadi 51.4.
Sebagai catatan, data yang dihimpun Caixin dan IHS Markit itu cukup mendapat perhatian pelaku pasar karena menyasar aktivitas pabrik skala kecil menengah, yang berkontribusi cukup besar terhadap pertumbuhan manufaktur secara keseluruhan di China.
Kenaikan Indeks Manufaktur China bulan lalu karena didukung oleh output yang solid dan pesanan baru yang meningkat. Kedua sub Indikator ini mencerminkan kondisi perekonomian China yang cukup kokoh meskipun dirundung perang dagang yang berlarut-larut dengan AS sejak tahun 2018.
Meskipun begitu, kepercayaan bisnis merosot dan banyak perusahaan yang enggan mengisi kembali persediaan lantaran khawatir terhadap prospek permintaan yang tidak pasti.
Menanggapi hal itu, Zhengsheng Zhong, direktur analisis makroekonomi di CEBM Group, tetap optimis bahwa permintaan domestik dan luar negeri yang cukup positif mendasari kenaikan PMI Manufaktur bulan November.
"Investasi manufaktur China mungkin bertahan di dekat titik terendah baru-baru ini... Jika negosiasi AS-China mampu berlanjut dan mencapai kesepakatan fase 1, maka kepercayaan bisnis akan kembali bergairah sehingga aktivitas manufaktur dan produksi kemungkinan akan tumbuh positif," ujar Zhengsheng Zhong dalam rilis data Caixin pagi ini.
Kesepakatan Dagang AS-China Masih Abu-Abu
Hingga kini, fokus utama pelaku pasar masih tertuju pada rencana kesepakatan fase satu antara Washington dan Beijing yang disebut-sebut akan segera ditandatangani oleh pemimpin kedua negara. Namun, terselip kekhawatiran karena semakin dekatnya tenggat waktu 15 Desember yang merupakan jadwal kenaikan tarif impor barang China.
Baik perwakilan AS maupun China telah menyampaikan optimisme tercapainya kesepakatan dagang beberapa saat lalu. Namun, langkah presiden Trump dalam menandatangani UU terkait Hong Kong pada minggu lalu ikut memantik kemarahan China, sehingga mengancam prospek penandatanganan kesepakatan dagang fase satu.