Departemen Statistik AS pada hari Rabu (12/Juni) merilis data Inflasi Konsumen (CPI) yang mencatat pertumbuhan 0.1 persen (Month-over-Month) di bulan Mei. Angka tersebut sesuai dengan ekspektasi ekonom, tapi lebih rendah dibandingkan gain 0.3 persen yang dicapai pada bulan April.
Dalam basis tahunan, trend CPI AS juga sedikit melambat dengan hanya membukukan kenaikan 1.8 persen y/y, gagal mengungguli ekspektasi untuk kenaikan 1.9 persen. Sebagai perbandingan, Inflasi Tahunan bulan April naik 2.0 persen dari tahun sebelumnya.
Kondisi serupa juga terjadi pada CPI Inti yang tidak memasukkan pengukuran pada kategori makanan dan energi. Dalam basis bulanan, data berlabel Core CPI itu naik 0.1 persen saja di bulan Mei, lebih rendah dari ekspektasi kenaikan 0.2 persen. Inflasi Konsumen Inti AS juga sedikit melambat secara tahunan dengan kenaikan 2.0 persen di bulan Mei, melemah dari pertumbuhan 2.1 persen dari rilis bulan sebelumnya.
Secara umum, Inflasi Konsumen AS nyaris tidak naik di bulan Mei, mencerminkan kondisi Inflasi yang tumbuh moderat di tengah perlambatan ekonomi Negeri Paman Sam. Kondisi tersebut berpotensi meningkatkan tekanan kepada The Fed untuk memangkas suku bunga di tahun ini.
Dolar AS Rebound, Turut Didukung Oleh Komentar Trump
Meski berada di bawah ekspektasi, Inflasi Konsumen periode Mei setidaknya masih dekat dengan target Fed dan jauh lebih baik dari kondisi yang dikhawatirkan pasar dalam beberapa waktu terakhir. Hal inilah yang mendasari rebound pada Indeks dolar (DXY) untuk menjauhi level terendah 11 pekan.
Setelah rilis CPI AS tadi malam, Indeks DXY melonjak hingga menyentuh level 97.00. Namun ketika berita ditulis pada pagi ini, harga sudah sedikit terkoreksi dan berada di kisaran 96.92
Selain karena faktor rilis CPI AS yang dinilai masih cukup moderat, penguatan Dolar AS terjadi lantaran pelemahan mata uang utama lain terutama Euro. Single Currency itu tampaknya terpukul oleh komentar Trump yang sedang mempertimbangkan untuk memberi sanksi atas proyek pipa gas alam Nordstream 2 Rusia, dan memperingatkan Jerman agar tidak tergantung pada pasokan energi dari Rusia.
"Berkat buruknya kinerja mata uang Euro, Dolar AS mampu rebound dari level terendah meskipun rilis data Inflasi Konsumen semakin mengarah pada pemangkasan suku bunga The Fed," kata Takuya Kanda, manajer umum di Gaitame Research Institute.
Kanda kembali menambahkan, "Pelaku pasar telah mengantisipasi dan menganggap pemotongan suku bunga The Fed sebagai suatu kesimpulan yang sudah hampir pasti. Meskipun begitu, Dolar AS tetap akan menjadi mata uang yang relatif kuat bahkan setelah satu atau dua kali Fed Rate Cut."