Dilansir dari media antaranews dilaporkan bahwa, Bank-bank Swiss ingin menjadi pedagang penting dari produk dan jasa keuangan yang didasarkan pada mata uang yuan China.
"Bank-bank ingin menjadi pusat perdagangan kedua (untuk perdagangan yuan di luar negeri) setelah London," kata Ketua Asosiasi Perbankan Swiss (SBA) Claude-Alain Margelisch kepada wartawan di Jenewa.
Sementara Inggris saat ini merupakan rumah bagi perdagangan yuan di luar negeri yang paling aktif, Margelisch mengatakan bahwa delegasi dari organisasinya baru-baru ini melakukan perjalanan ke China untuk memastikan akses ke operasi keuangan tersebut dan telah menerima "sinyal positif" dari Beijing.
"Pihak berwenang China menunjukkan bahwa tidak ada kebutuhan untuk kesepakatan secara formal tentang bagian mereka untuk aktif di pasar Kita akan mempelajari pasar segera," katanya.
Sementara tidak ada kesepakatan formal diperlukan dengan bank sentral China, Margelisch mencatat bahwa jika mereka ingin memperdagangkan yuan, bank-bank Swiss akan membutuhkan kehadiran perbankan yang kuat di Hong Kong, pusat perdagangan utama untuk mata uang China.
Dia meramalkan bahwa yuan akan memainkan "peran yang semakin penting dalam perdagangan internasional selama tahun-tahun mendatang.
*
Sementara China tampaknya akan menggusur posisi Amerika Serikat (AS) sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Hal tersebut akan terjadi sekitar empat tahun lagi.
Proyeksi ini diberikan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Organisasi yang bermarkas di Prancis ini yakin, ekonomi China akan lebih besar dari Uni Eropa di akhir tahun ini dan mengambil alih posisi Paman Sam di 2016.
OECD melansir, pada 2025 ekonomi China berkelompok dengan India akan lebih kuat dibanding gabungan antara Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, Amerika Serikat dan Kanada.
Krisis keuangan yang mengobrak-abrik sistem keuangan pada 2007 akan makin luas hingga mencapai tingkat pra-krisis pada 2030. Dalam jangka pendek, hampir sebagian besar negara akan mengalami siklus krisis keuangan.
AS mengalami defisit anggaran yang besar saat China terus mencatatkan surplus. OECD mengingatkan, ketidakseimbangan ini bisa merusak pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Namun, jika setiap negara melakukan reformasi keuangan yang lebih ambisius, khususnya di bidang ketenagakerjaan dan produksi, keseimbangan tersebut bisa dikurangi