Pagi ini (8/3) iklim bisnis manufaktur di Indonesia kembali dilaporkan melemah pada bulan Juli dengan indeks PMI Manufaktur Nikkei/Markit turun ke 47.3 dari 47.8 pada bulan sebelumnya. Angka indeks dibawah ambang 50 menandakan bahwa kondisi kontraksi masih berlanjut di tengah pemangkasan produksi dan ketenagakerjaan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang disurvei.
Grafik Indeks PMI Manufaktur Indonesia versi Nikkei/Markit Economics Agustus 2014-Juli 2015
Rilis indeks PMI Manufaktur kali ini menandai bulan kesepuluh berturut-turut produksi manufaktur merosot. Menurut pendapat panelis yang dikelola oleh Nikkei/Markit, menurunnya arus bisnis merefleksikan berkurangnya kepercayaan konsumen dan situasi ekonomi yang rapuh di dalam negeri. Sementara itu, pesanan bisnis baru dari luar negeri juga menurun dengan penurunan permintaan dialami baik dari konsumen Asia maupun Eropa. Selain itu, laporan juga mencatat tingginya biaya impor yang meningkatkan biaya input dan harga pabrikan serta tingginya angka pemutusan hubungan tenaga kerja.
Di sisi lain, ekonom dari Markit Economics, Pollyanna de Lima, menyebutkan bahwa tingkat inflasi yang lebih rendah memungkinkan BI melakukan pelonggaran moneter pada bulan-bulan mendatang.
Inflasi Melambat
Dari Badan Pusat Statistik (BPS) dilaporkan inflasi pada bulan Juli tidak berubah di level 7.26% dalam basis tahunan, sama dengan inflasi Juni. Sedangkan tingkat inflasi inti menurun untuk pertama kalinya dalam lima bulan terakhir dari 5.04% menjadi 4.86%.
Grafik Inflasi Inti Indonesia Agustus 2014-Juli 2015
Meski demikian, inflasi month-over-month masih tercatat meningkat dari 0.54% ke 0.93%. Menurut BPS, inflasi ini terjadi karena kenaikan harga yang dialami oleh seluruh kelompok pengeluaran, dengan peningkatan terbesar terjadi pada indeks kelompok bahan makanan serta kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau. Menurut hasil pemantauan, dari 82 kota yang disurvei, inflasi dialami oleh 80 kota, sedangkan deflasi terjadi di dua kota saja, yakni Tanjung Pandan dan Merauke.