EUR/USD 1.064   |   USD/JPY 154.630   |   GBP/USD 1.243   |   AUD/USD 0.641   |   Gold 2,386.17/oz   |   Silver 28.63/oz   |   Wall Street 37,775.38   |   Nasdaq 15,601.50   |   IDX 7,063.10   |   Bitcoin 63,512.75   |   Ethereum 3,066.03   |   Litecoin 80.80   |   PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk (PJAA) mencatat jumlah pengunjung saat libur lebaran 2024 ini mencapai 432,700 orang, 4 jam lalu, #Saham Indonesia   |   S&P 500 turun 0.2% menjadi 5,039, sementara Nasdaq 100 turun 0.4% menjadi 17,484 pada pukul 20:09 ET (00:09 GMT). Dow Jones turun 0.2% menjadi 37,950, 4 jam lalu, #Saham AS   |   Netflix turun hampir 5% dalam perdagangan aftermarket setelah prospek pendapatannya pada kuartal kedua meleset dari estimasi, 4 jam lalu, #Saham AS   |   Apple menghapus WhatsApp dan Threads milik Meta Platforms (NASDAQ:META) dari App Store di Cina pada hari Jumat setelah diperintahkan oleh pemerintah Cina, 4 jam lalu, #Saham AS

"UNBREXIT": 3 Skenario Dimana Brexit Bisa Batal

Penulis

Dengan kian meningkatnya ketidakpuasan, muncullah spekulasi bahwa Brexit bisa saja batal. Realitanya, memang ada beberapa situasi dimana Inggris tak segera keluar dari Uni Eropa seperti yang diprediksikan. Tetapi semua alternatif yang ada justru membuka pintu lebih lebar bagi ketidakpastian.

Chaos di Inggris berlanjut. Perusahaan-perusahaan mulai membatalkan rencana investasi mereka, atau mengalihkan ekspansi dari Inggris ke Eropa daratan. Harga saham-saham di FTSE 250 hancur lebur, demikian pula Poundsterling. Sejumlah pihak berharap depresiasi akan meningkatkan daya saing ekspor, tetapi lebih banyak orang memproyeksikan terjadinya resesi akibat biaya impor membubung dan terjungkalnya aliran investasi akibat ketidakpastian.

Unbrexit

Kondisi sosial-geopolitik tak kalah ruwetnya. Laporan insiden konflik dan kekerasan rasial meningkat. Politisi-politisi pendukung Uni Eropa, termasuk PM David Cameron, cenderung "lempar batu sembunyi tangan". Sementara dari pihak pro-Brexit tampak "santai" dengan sesumbar, mengingkari janji-janji kampanye mereka, dan menunda-nunda pengajuan Pasal 50 yang dipersyaratkan sebagai langkah pertama untuk pemrosesan keluarnya suatu negara dari Uni Eropa.

Dua wilayah Inggris yang mayoritas warganya memilih "Stay" pada referendum, Skotlandia dan Irlandia Utara, mulai mengopinikan referendum kemerdekaan. Di sisi lain, para petinggi Uni Eropa beramai-ramai mengecam, menginginkan Inggris secepatnya "minggat" dari kesatuan ekonomi-politik ini dan berhenti "menggantung" nasib sekawasan demi permainan politik domestik.

Melihat realita yang seperti ini, banyak rakyat Inggris ingin "balik kucing". Hasil polling media The Independent menemukan bahwa 1.1 juta dari 17 juta pemilih "Leave" menyesali pilihan mereka. Kemarin (29/6), lebih dari seribu orang menggelar unjuk rasa di depan gedung Parlemen di Westminster untuk menyatakan dukungan mereka bagi Uni Eropa, sementara rencana demo serupa dengan 20ribu-an peserta di Trafalgar Square terpaksa batal karena tak ada ijin dari pihak berwenang.

Dengan kian meningkatnya ketidakpuasan, muncullah spekulasi bahwa Brexit bisa saja batal. Realitanya, memang ada beberapa situasi dimana Inggris tak segera keluar dari Uni Eropa seperti yang diprediksikan. Tetapi semua alternatif yang ada justru membuka pintu lebih lebar bagi ketidakpastian.

 

1. Pejabat Menolak Bertindak

Persyaratan terpenting dalam pemrosesan keluarnya suatu negara dari Uni Eropa adalah aktivasi Pasal 50 Pakta Uni Eropa dalam sebuah pemberitahuan formal ke parlemen UE. Begitu Pasal 50 diaktifkan, Inggris dan Uni Eropa akan berunding dalam waktu dua tahun (atau lebih jika ada perpanjangan) guna membentuk perjanjian dagang baru.

Dalam hal ini, ada beberapa kemungkinan "UnBrexit" bisa terwujud. Kemungkinan pertama adalah parlemen Inggris dan para pejabatnya terus mengulur-ulur waktu atau bahkan menolak sama sekali untuk mengaktifkan Pasal 50 dengan berdalih hasil referendum hanya bersifat rekomendasi yang tidak mengikat secara hukum. Jika itu terjadi, maka dengan sendirinya Brexit batal. Pertanyaannya, apakah pejabat Inggris "berani" mengingkari aspirasi rakyat yang tertuang dalam hasil referendum lalu?

Kemungkinan kedua, bila parlemen Skotlandia, dimana mayoritas warganya ingin tetap dalam UE, melontarkan veto dan memblokir hasil referendum kemarin. Kabarnya, ini adalah salah satu opsi yang sedang didiskusikan oleh para wakil rakyat Skotlandia, disamping opsi mengadakan referendum kemerdekaan lagi.

Unbrexit

 

2. Referendum Brexit Kedua

Segera setelah hasil referendum Brexit diumumkan, muncul petisi online yang menuntut revisi peraturan referendum agar keputusan "Leave" hanya diakui bila bisa meraih 60% suara pemilih. Masalahnya, banyak yang merasa konyol kalau keputusan sepenting ini bisa diambil dengan selisih suara sebegitu tipisnya. Petisi tersebut kini telah ditandatangani oleh lebih dari 4 juta orang. Atas dasar itu, dua anggota parlemen Inggris pun mengajukan mosi untuk menggelar referendum babak dua. Menteri Kesehatan Jeremy Hunt turut mendukung pendapat tersebut.

Namun, tak semua orang menginginkannya, karena hal itu dipandang akan menghilangkan kepercayaan publik pada proses pemilihan yang demokratis dan memperpanjang ketidakpastian. Hasil polling YouGov yang dipublikasikan pagi ini (30/6) menunjukkan 58% orang menolak referendum kedua, 31% menginginkannya, dan 11% menyatakan tak tahu.

Polling YouGov Tentang Referendum Brexit Kedua

 

3. Inggris Jadi "Sekutu Non-Anggota" Uni Eropa

Jika Pasal 50 sudah diaktifkan dan selanjutnya Inggris meminta posisi semacam sekutu non-anggota (associate) dari Uni Eropa, mirip seperti yang sekarang diterapkan dalam hubungan antara Norwegia dan UE, maka Inggris bisa mempertahankan hubungan dengan pasar UE. Norwegia saat ini bukan anggota UE, tetapi berhubungan erat berkat keanggotaannya dalam European Economic Area (EEA) serta European Free Trade Association (EFTA). Menurut Marketwatch, pilihan Inggris yang satu ini semacam "Brexit-lite".

Dalam "Brexit-lite", orang Inggris masih bebas bekerja di UE, dan orang UE masih bebas bekerja di Inggris. Banyak peraturan Uni Eropa yang dianggap memberatkan juga tak lagi harus diberlakukan oleh negeri yang beribukota di London itu. Hasilnya, konsekuensi secara ekonomi relatif kecil dan iklim pertumbuhan kedua wilayah bisa diharapkan pulih dalam waktu relatif lebih singkat.

Akan tetapi, perlu dipertanyakan apakah negara-negara anggota Uni Eropa bakal mengizinkan Inggris berdiri di posisi nyaman tersebut? Kanselir Jerman Angela Merkel sebelumnya menyatakan bahwa Inggris tidak bisa berharap tetap memiliki "privilege" sebagai anggota tanpa memenuhi tanggung jawab keanggotaan. Apalagi, hingga kini Inggris masih gamang dan belum juga mau mengajukan aktivasi Pasal 50.

Singkat kata, masih banyak hal belum jelas terkait Brexit. Hanya satu yang tak terelakkan: kisah ini belum berakhir.

267799

Alumnus Fakultas Ekonomi, mengenal dunia trading sejak tahun 2011. Seorang News-junkie yang menyukai analisa fundamental untuk trading forex dan investasi saham. Kini menulis topik seputar Currency, Stocks, Commodity, dan Personal Finance dalam bentuk berita maupun artikel sembari trading di sela jam kerja.