Rapat kebijakan bank sentral Eropa yang akan dihelat pada hari Kamis 4 September mendatang akan menjadi salah satu event ekonomi yang paling ditunggu. Pasalnya, pemulihan Zona Euro tengah tersendat. Angka inflasi Zona Euro terus melorot pasca kebijakan pemotongan suku bunga ECB Juni lalu.
Dihantui Kegagalan
Inflasi dalam 9.6 Triliun perekonomian Euro, jeblok ke level rendah lima tahun, yakni 0.3 persen pada bulan Agustus ini. Kian hari, upaya bank sentral dalam menghindari deflasi ala Jepang, kian dekat dengan kegagalan.
Meningkatnya risiko geopolitik akibat makin intensifnya konflik di Ukraina, memaksa Eropa untuk menjatuhkan sanksi terhadap partner bisnis terbesar ketiganya, Rusia. Tak ayal, keputusan ini pun menjadi bumerang bagi pemulihan ekonomi Zona Eropa yang pada dasarnya memang masih tertatih-tatih.
Frederick Ducrozet, seorang ekonom dari Credit Agricole mengatakan pada Reuters, "ECB kembali mendapat tekanan untuk mengambil tindakan yang lebih (efektif). Tak hanya karena lemahnya data inflasi, namun juga akibat isi pidato Draghi di Jackson Hole kemarin."
Retorika Mario Draghi
Diketahui, dalam pidatonya, Draghi merayu pemerintah negara-negara Zona Euro agar bahu-membahu meringankan beban ECB dengan cara melakukan reformasi ekonomi secara struktural.
Akan tetapi, para analis ekonomi meramalkan bahwa ECB belum akan mengambil tindakan apapun dalam rapatnya pada bulan ini. Salah satunya adalah Marco Valli, Kepala Ekonom Area Euro di UniCredit Millan. Kepada Bloomberg, pria tersebut menuturkan bahwa bulan ini ECB kemungkinan masih akan menganggap bahwa tambahan stimulus akan terlalu prematur.
Menurutnya, Draghi terlihat lebih suka menebar retorika yang menunjukkan bahwa dirinya sangat memperhatikan ekspektasi inflasi. Penanggulangan masalah inflasi dengan menambah pelonggaran kuantitatif seolah sudah tak terbendung. Namun tetap saja, Draghi menekankan bahwa pelonggaran hanyalah langkah pamungkas.
Jerman Menolak Tambahan Stimulus
Problema yang dihadapi oleh ECB ini bukanlah masalah yang baru di dunia ekonomi. Bank sentral AS, Jepang, dan Inggris juga pernah mengalami masalah serupa. Bukannya belajar dari pengalaman tetangga, ECB justru terlihat enggan mencontoh solusi yang pernah diambil oleh salah satu bank sentral tersebut. Analis Reuters memperkirakan, hal itu disebabkan oleh penolakan keras dari bank sentral Jerman, yang merasa akan menjadi negara yang paling terbebani jika kebijakan tersebut dilancarkan. Selain itu, ada pula pertimbangan bahwa pembelian utang negara secara multinasional seperti itu, akan sulit diimplementasikan.
Dengan demikian, survei Bloomberg menyebutkan bahwa 50 dari 55 suara memprediksi bahwa ECB akan tetap mempertahankan suku bunga di rekor rendah 0.15 persen saat ini. Sementara lima lainnya memperkirakan jika ECB akan kembali memotong suku bunganya sebanyak 0.05 basis poin dari tingkat saat ini.