Menu

Konversi Utang Ke Saham: Pertanda Keuangan Emiten Sedang Payah?

Shanti Putri

Ada banyak cara yang bisa dilakukan emiten untuk melunasi utang, salah satunya ialah mengkonversi utang ke saham. Bagaimana caranya?

Selama ini, kita mengetahui bahwa utang yang diajukan mesti dibayar dengan tunai. Jika sang debitur tidak mampu melunasinya secara tunai, maka pelunasan akan dilakukan dengan cara likuidasi alias menjual aset. Dalam beberapa kasus kreditur, sang pemberi utang bahkan dapat mengambil alih paksa aset-aset debitur yang berutang setara dengan utangnya. Jika aset pun tak cukup, maka restrukturisasi bisa menjadi pilihan. Restrukturisasi biasanya ditempuh melalui perundingan, dimana salah satu hasilnya berupa keringanan pembayaran.

Selain cara-cara di atas, rupanya ada jenis restrukturisasi utang lain yang bisa ditempuh, yakni dengan menukarkan utang ke saham. Alih-alih membayar secara tunai, utang dibayarkan dalam bentuk saham. Inilah konversi utang ke saham yang belakangan ini sudah marak ditempuh emiten untuk membayar utangnya.

 

Emiten Yang Pernah Melakukan Konversi Utang Ke Saham

Sejauh ini, ada banyak sekali emiten yang melunasi utang mereka dalam bentuk saham. Misalnya saja PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) dan PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) yang merestrukturisasi utang dengan cara menerbitkan Obligasi Wajib Konversi (OWK). Selain itu, ada juga BUMI yang menawarkan ide menukarkan utangnya ke saham.

MNC Investama Tbk (BHIT) bahkan lebih taktis lagi; sebelum mengajukan Obligasi Wajib Konversi, BHIT melakukan penambahan modal saham tanpa hak memesan efek terlebih dahulu atau disebut dengan Private Placement. Kemudian setelah jumlah saham beredarnya bertambah, saham tersebut digunakan untuk membayar kreditur.

Belakangan ini, Garuda Indonesia Tbk (GIAA) juga mengajukan OWK untuk memperoleh Rp8.6 triliun dari pemerintah. OWK yang diajukan oleh Garuda adalah untuk menampung dana talangan pemerintah sebesar Rp8.6 triliun dengan tenor tujuh tahun. Per 30 September 2020 saja, ekuitas GIAA minus USD455,575,100 alias lebih besar utang daripada total aset keseluruhan. Penambahan modal tersebut diharapkan akan memperbaiki struktur permodalan GIAA.

Syarat dari pemerintah hanya satu, yaitu agar GIAA menjaga rasio utang berbunga-nya (interest coverage ratio) kurang dari satu. Jika lebih dari satu, maka GIAA harus membayar bunga sesuai dengan BI Rate. Namun jika kurang dari satu, maka pembayaran bunga tidak diperlukan.

 

Dampak Untuk Investor

Pembayaran utang dalam bentuk saham turut memberikan dampak bagi investor, yakni terdilusinya persentase saham miliknya dan potensi fluktuasi harga saham yang beredar. Jika Anda memiliki saham sebesar lebih dari 5%, Anda tentu berhak khawatir ketika ada perubahan pada jumlah saham beredar seperti penerbitan OWK ini.

Misalnya saham ABCD memiliki jumlah saham beredar sebesar satu miliar lembar dan Anda telah membeli 70 juta lembar saham ABCD atau setara dengan 7% dari total saham beredar. Jika kemudian emiten ABCD memutuskan untuk menambah jumlah saham beredarnya menjadi dua miliar lembar, maka persentase kepemilikan Anda bukan lagi 7% melainkan 3.5%. Jumlahnya memang tetap 70 juta lembar, namun persentasenya berkurang dan ini menjadi masalah.

Banyak orang yang mengoleksi saham hingga lebih dari 5% agar bisa berkontribusi pada pengambilan keputusan manajemen perusahaan. Dengan kata lain, ada pihak-pihak yang mengoleksi saham dengan jumlah tertentu agar "turut berkuasa" atas perusahaan yang sahamnya dibeli. Tentunya penambahan jumlah saham beredar ini mengganggu tujuan mereka.

Selain itu, OWK berpotensi menggerakkan harga saham ke level tidak wajar. Para pemegang saham hasil konversi utang mungkin saja tertarik menjual sahamnya ke pasar reguler untuk mendapat nilai tunai. Jadi, pelepasan saham besar-besaran tentunya akan membuat harga saham bergejolak.

(Baca Juga: Tips Sukses Menjawab Tantangan Pasar Saham Yang Naik Turun)

 

Hati-Hati Jika Emiten Konversi Utang Ke Saham

Penerbitan OWK mungkin bisa menjadi sinyal yang menandakan bahwa keadaan keuangan emiten sedang sangat tidak baik, berbahaya, atau bahkan sudah nyaris berada di ujung tanduk kebangkrutan. Jika tidak, untuk apa emiten menempuh Obligasi Wajib Konversi yang kurang diminati sebagian besar kreditur?

Lebih jauh, Obligasi Wajib Konversi belum tentu mencapai kuota pinjaman yang dibutuhkan. Misalnya saja emiten memerlukan Rp1 triliun untuk penambahan modal usaha yang dicari dengan mengajukan Obligasi Wajib Konversi. Namun karena tidak banyak kreditur yang mau dibayar dengan saham, akhirnya dana yang terkumpul hanya Rp200 miliar.

Ketika emiten mengajukan OWK, biasanya emiten telah mengatur perjanjian dengan pihak tertentu sebagai pemegang OWK, alias pembeli OWK yang sudah sepakat utangnya dibayar dengan saham. Jika tidak memiliki perjanjian dengan pihak tertentu, maka investor biasa tentu berpikir dua kali untuk membeli obligasinya, mengingat harga saham ketika mendarat di tangan kreditur belum tentu sebesar nilai yang dijanjikan saat perjanjian OWK dibuat.

Misalnya saja Bumi Resources Tbk (BUMI) yang melakukan perjanjian konversi utang ke saham di harga Rp1000 per lembar. Kenyataannya saat penyerahan saham di akhir 2017 dan awal 2018, harga BUMI bahkan tidak mencapai Rp500. Saat ini BUMI masih jauh dari Rp1000 per lembar. Para eks kreditur yang kini jadi pemegang saham BUMI tentu menunggu-nunggu BUMI naik ke Rp1000 untuk menjual sahamnya.

Saham memiliki risiko penurunan harga sehingga investor biasa cenderung enggan membeli Obligasi Wajib Konversi. Makanya ketika emiten mengajukan OWK, kemungkinan besar bisa menjadi sinyal bahwa keuangan emiten sedang sangat jelek sehingga harus menempuh opsi konversi utang ke saham.






KONTAK KAMI PASANG IKLAN BROKER BELAJAR ANALISA ARTIKEL TERM OF USE