Menu

Dampak Krisis Turki Memperburuk Outlook Harga Minyak

A Muttaqiena

Meski konsumsi minyaknya sedikit, tetapi dampak krisis Turki bisa menyeret negara-negara berkembang lain, sehingga ini menjadi kabar negatif bagi harga minyak.

Seputarforex.com - Harga minyak tersungkur lagi pada hari Senin (13/Agustus) karena meningkatnya kekhawatiran pelaku pasar akan penurunan permintaan atas komoditas energi. Data menunjukkan bahwa inventori di pusat pengiriman minyak mentah AS mengalami peningkatan, sementara negara-negara berkembang terancam terkena imbas krisis Turki.

Harga minyak mentah Brent sempat anjlok hingga USD71.07 kemarin, meskipun hari ini (14/Agustus) telah beranjak ke USD72.84 per barel. Di sisi lain, West Texas Intermediate (WTI) merosot hingga USD65.74, sebelum merangkak naik lagi ke USD67.49 saat berita ini ditulis.

 

Permintaan Minyak Dikhawatirkan Menurun

Data dari perusahaan riset Genscape yang dirilis pada hari Senin menunjukkan bahwa inventori minyak di Cushing, Oklahoma, Amerika Serikat, meningkat sekitar 1.7 juta barel dalam periode sepekan yang berakhir tanggal 10 Agustus. Peningkatan tersebut boleh jadi berhubungan dengan kembali aktifnya aliran minyak dari Syncrude, Kanada secara bertahap; tetapi pasar juga mengkhawatirkan serapan konsumsi BBM yang terindikasi melambat.

Selain itu, risiko dampak krisis finansial Turki telah meluas ke seluruh negara-negara berkembang. Hal ini nampak dari anjloknya nilai tukar Rand Afrika Selatan, Peso Meksiko, dan Rubel Rusia. Ke depan, krisis finansial tersebut dikhawatirkan juga bakal menyeret pertumbuhan ekonomi dan permintaan minyak di tengah sengitnya perang dagang. (Baca juga: Harga Minyak Merosot Akibat Konflik Dagang AS-China)

 

Krisis Turki Bisa Seret Negara-Negara Berkembang

Konsumsi minyak Turki hanya sekitar 1 juta barel per hari (bph), atau kurang lebih 1 persen dari permintaan minyak global. Namun, risiko penularan krisisnya cukup besar. Ole Sloth Hansen, pimpinan pakar strategi komoditi di Saxo Bank A/S mengatakan pada Financial Post, "Risiko kunci pada minyak adalah risiko penularan (krisis Turki) pada negara-negara berkembang lain, khususnya yang berkontribusi besar pada pertumbuhan permintaan (atas minyak)... Trader pasti akan memantau Turki untuk (melihat) upaya mengatasi situasi ini dan menghadirkan solusi yang baik."

Menurut Jim Ritterbusch, presiden Ritterbusch and Associates, sebagaimana dikutip oleh Reuters, "Kompleks energi terus menerus diguncang oleh headline baru setiap hari yang tidak punya dampak besar pada suplai saat ini maupun permintaan dalam jangka pendek; tetapi bisa secara dramatis memengaruhi keseimbangan minyak dalam beberapa bulan ke depan."

Nick Cunningham dari OilPrice.com juga mencatat bahwa harga minyak dalam mata uang lokal di Turki, Afrika Selatan, India, dan Indonesia, sudah berada setara atau lebih tinggi dari rekor yang tercapai tahun 2008. Jika krisis Turki menyeret negara-negara berkembang lainnya, maka harga produk-produk minyak akan menjadi jauh lebih mahal bagi banyak orang, sehingga mengakibatkan perlambatan permintaan global secara signifikan.

Proyeksi penurunan permintaan disampaikan pula oleh OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries). Dalam laporan bulanannya, kartel minyak tersebut memperkirakan permintaan global pada 15 negara anggotanya di tahun 2019 hanya akan mencapai 32.05 juta bph; menurun 130,000 bph dari proyeksi yang dirilis bulan lalu.


Berita Minyak Lainnya




KONTAK KAMI PASANG IKLAN BROKER BELAJAR ANALISA ARTIKEL TERM OF USE