Menu

Harga Minyak Loyo Digelayuti Sentimen Negatif Brexit

A Muttaqiena

Harga minyak mentah berjangka melorot pada sesi perdagangan Asia hingga Brent kembali melantai ke bawah harga $50 per barel. Para investor disinyalir mengabaikan sinyal-sinyal pengetatan pasar dan memilih berfokus pada sentimen penghindaran risiko.

Harga minyak mentah berjangka melorot pada sesi perdagangan Asia hingga Brent kembali melantai ke bawah harga $50 per barel, atau tepatnya $49.91 saat berita ini diangkat (14/6), sedangkan WTI mengambang di $48.39 per barel. Para investor disinyalir mengabaikan sinyal-sinyal pengetatan pasar dan memilih berfokus pada sentimen penghindaran risiko yang berkembang di pasar finansial sehubungan dengan isu perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia dan referendum Brexit.

Referendum Brexit, merujuk pada pemungutan suara yang akan memutuskan apakah Inggris akan tetap menjadi anggota Uni Eropa atau hengkang, akan digelar tanggal 23 Juni mendatang. Seiring dengan mendekatnya hari-H, persaingan antara kubu penolak dan pendukung Uni Eropa di Inggris makin ketat.

Laporan terbaru dari polling yang digelar pekan lalu pada pagi tadi menunjukkan pihak yang ingin hengkang dari UE masih memimpin. Menurut ICM, 53% responden ingin keluar, 47% ingin tinggal. Senada dengan itu, YouGov mengabarkan 46% akan memilih pergi, 39% memilih tinggal. Padahal beragam dampak negatif diperkirakan akan menimpa Inggris dan meluber ke wilayah lainnya jika negeri yang beribukota di London itu memutuskan untuk keluar dari kesatuan sosial politik Uni Eropa.

Sebagai efek samping dari kecemasan pasar tersebut, aset-aset safe haven menguat, termasuk Dolar, Yen, dan Emas. Di sisi lain, aset berisiko lebih tinggi mulai dilepas oleh investor.

Mihir Kapadia, CEO Sun Global Investments, mengatakan pada Reuters, "Suasana penghindaran risiko yang telah menjalar di pasar dalam beberapa hari terakhir ini telah menguasai harga minyak, dimana lemahnya pasar Asia dan kuatnya Dolar berkontribusi (menyebabkan) harga minyak Brent menurun kembali ke bawah $50 per barel."

Menurutnya, ada beberapa pihak yang mensinyalir pemulihan harga minyak baru-baru ini adalah karena masalah gangguan supply temporer dan tidak ada kaitannya dengan penguatan permintaan akibat ekonomi dunia sehat. Padahal, jika Inggris sungguh keuar dari Uni Eropa maka berpotensi mendorong benua tersebut kembali masuk dalam resesi, sehingga menempatkan lebih banyak tekanan pada perekonomian global.

Sentimen penghindaran risiko tersebut berimbas negatif bagi minyak yang permintaannya cenderung menurun jika pertumbuhan ekonomi dunia terganggu. Akibatnya harga minyak cenderung menurun meski sebuah proyeksi resmi yang dirilis OPEC pada hari Senin mengekspektasikan pemulihan stabilitas pasar di paruh kedua tahun ini. Pelaku pasar juga mengabaikan forecast pemerintah AS yang menyebutkan kalau output minyak shale bakal melandai lagi pada Juli untuk ketujuh bulan berturut-turut. Bisa jadi itu ada hubungannya dengan laporan kembali beroperasinya sejumlah sumur minyak shale nonaktif di AS, dengan mana produksi pun diproyeksikan meningkat.

 


Berita Minyak Lainnya




KONTAK KAMI PASANG IKLAN BROKER BELAJAR ANALISA ARTIKEL TERM OF USE