Menu

Monster Itu Bernama Deflasi

A Muttaqiena

Sementara masyarakat Indonesia bertarung melawan inflasi, negara-negara maju di Dunia tengah berhadapan dengan ancaman deflasi. Fenomena ini terutama terlihat dari tren CPI (Indeks Harga Konsumen) di wilayah Uni Eropa dan Amerika Serikat terus menurun.

Sementara masyarakat Indonesia bertarung melawan inflasi, negara-negara maju di Dunia tengah berhadapan dengan ancaman deflasi. Jay Pelosky dari perusahaan konsultan investasi J2Z Advisory LLC (1/1) mengatakan bahwa 'pertarungan' di tahun 2014 adalah mengenai deflasi. Fenomena ini terutama terlihat dari tren CPI (Indeks Harga Konsumen) di wilayah Uni Eropa dan Amerika Serikat yang terus menurun.


Teka-Teki Deflasi
Rata-rata inflasi tahunan Amerika Serikat berada pada 3,2% pada 2011, menurun menjadi 2,1% pada 2012, dan kemungkinan akan berada di kisaran satu koma pada pengumuman tanggal 16 Januari mendatang. Laporan inflasi tahunan Kanada minggu lalu (3/1) sebesar 0,9% juga berada dibawah target 1%-3%, dan menimbulkan kekhawatiran akan deflasi di wilayah tersebut.

CPI Italia pekan lalu turun dari 0,7% menjadi 0,6% dan CPI Spanyol stagnan di 0,3%; membuat analis memperkirakan data inflasi yang akan dirilis Bank Sentral Eropa, ECB, pekan depan akan tetap lemah pada 0,9%. Situasi ini berkebalikan dengan Jepang yang telah berhasil mematahkan laju deflasi walaupun masih bergulat dengan ancaman yang sama.

Menurut teori ekonomi, deflasi, yang disebut juga tingkat inflasi negatif, atau tren penurunan harga barang dan jasa dalam suatu periode, akan membuat pendapatan perusahaan berkurang. Apabila pendapatan perusahaan berkurang, maka akan berakibat pada pemecatan tenaga kerja. Ekonom Paul Krugman menggarisbawahi rigiditas upah dalam kondisi semacam ini; upah tidak mungkin diturunkan, kecuali terjadi pengangguran besar-besaran yang menyebabkan masyarakat putus asa dan mau bekerja dengan gaji berapapun. Solusi satu-satunya bagi perusahaan untuk mengurangi biaya produksi adalah pemecatan tenaga kerja. 'Solusi' ini akan berakibat pada peningkatan pengangguran. Ini, pada gilirannya membuat konsumsi masyarakat menurun dan berdampak pada produksi nasional suatu negara. Di pihak masyarakat umum, harga-harga yang lebih murah mungkin disambut baik, tetapi pada dasarnya, deflasi merupakan indikator awal dari pelambatan pertumbuhan ekonomi. Inilah salah satu alasan kenapa deflasi dimusuhi.

Sebaliknya, inflasi dalam skala 'ringan' justru 'diharapkan' karena akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Perusahaan-perusahaan semakin giat bekerja karena keuntungan naik, kesempatan kerja semakin banyak, konsumsi masyarakat naik, dan kemudian produksi nasional meningkat. Walaupun, bila inflasi mencapai hiperinflasi sebagaimana yang terjadi di Zimbabwe, maka keadaan ekonomi akan kacau.

Mengekspor Deflasi
Akhir bulan lalu, HSBC menyatakan bahwa daripada menghilangkan kecenderungan deflasi, bank-bank sentral sekarang lebih memilih menggelontorkan stimulus moneter untuk mengekspor deflasi ke negara lain. Program stimulus moneter dibawah Abenomics, secara khusus melemahkan Yen, dan dari sana mengekspor deflasi dengan membuat barang dan jasa 'made in Japan' jadi lebih murah bagi Dunia. Setelah Yen melemah, pasar kemudian berpaling ke Dollar. Penguatan Dollar mengakibatkan melemahnya harga-harga komoditas, seperti emas.

Lantas, apa dampaknya bagi pasar forex?

Reaksi spontan pasar terhadap berita inflasi yang naik biasanya adalah penguatan suatu mata uang terhadap pasangannya, dikarenakan kenaikan inflasi akan mendorong bank sentral untuk menaikkan suku bunga. Dengan kata lain, deflasi adalah berita buruk. Namun, jika melihat Jepang satu tahun yang lalu sebagai contoh, maka kondisi jangka panjang justru sebaliknya. Jepang yang saat itu tengah mengalami deflasi parah justru memiliki nilai tukar yang jauh lebih tinggi daripada negara maju lain yang memiliki inflasi tinggi. Membingungkan, bukan? oleh karena itu, daripada merisaukan berapa angka inflasi/deflasi, jalan pintas bagi Anda adalah mengamati reaksi bank-bank sentral terhadap rilis berita fundamental.

Terlepas dari prospek perekonomian yang membaik di AS dan Eropa, bank-bank sentral Dunia terus mengkhawatirkan deflasi. Dengan berbagai cara, mereka telah dan akan berusaha untuk mengatasi agar jangan sampai wilayahnya mengalami pelambatan pertumbuhan seperti Jepang dulu. Satu langkah yang nampaknya populer adalah stimulus dalam bentuk Quantitative Easing (QE). QE diharapkan dapat mendorong bank-bank untuk menyalurkan pinjaman ke masyarakat; dan dari situ menggiatkan aktivitas ekonomi serta menggenjot pertumbuhan. Biaya produksi boleh naik, tapi setidaknya akses ke permodalan menjadi lebih available.

Masalahnya, QE saja nampaknya sama tidak efektifnya dengan kebijakan Funding for Lending scheme (FLS) dari Bank of England yang secara langsung menyasar rumah tangga dan usaha kecil menengah. Skema-skema itu sukses mengekspor deflasi, tapi bank-bank tetap saja malas menyalurkan uang ke sektor riil, dan terus menggembungkan bubble di sektor finansial dan properti. Perombakan menyeluruh seperti yang dilakukan Jepang dalam rangkaian Abenomics mungkin akan lebih sukses, tetapi sangat riskan. Oleh karena itu, kebijakan apa yang tepat diambil untuk mengatasi ancaman deflasi, sekarang masih menjadi misteri. Sementara itu, ingat-ingat bahwa trader forex bisa selalu mengambil keuntungan dari naik maupun turunnya nilai tukar sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan tersebut.


Editorial Forex Lainnya
Fathis

Apakah monster ini bisa di jinakkan oleh Bank Central masing negara.....tp yg jelas dlm pasar forex monster ini akan melambungkan /menenggelamkan pair utama....yg terpenting bisa profit meski suatu pair naik/turun.

Cathy

Kalau memang mau nyuruh bank ngasih kredit, ya suruh aja langsung. namanya bank, kalau nggak disuruh/dilarang ya nggak bakal ngelakuin kalau nggak ada untungnya, kan!? Tapi setuju deh, yang penting kita tetep profit...





KONTAK KAMI PASANG IKLAN BROKER BELAJAR ANALISA ARTIKEL TERM OF USE