Menu

Sepi Katalis, Dolar AS Tertambat Di Level Tertinggi Dua Pekan

A Muttaqiena

Indeks Dolar AS (DXY) bergerak dalam kisaran terbatas sehubungan dengan minimnya rilis data berdampak besar, sementara minat risiko pasar merosot.

Pada awal sesi Eropa hari Jumat ini (8/Februari), Indeks Dolar AS (DXY) bergerak sideways di kisaran 96.58, level tertingginya dalam dua pekan terakhir. Sementara itu, di tengah sepinya jadwal rilis data ekonomi hari ini, minat risiko pasar merosot dan permintaan atas aset-aset Safe Haven meningkat karena menanjaknya kekhawatiran mengenai proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia, juga kelanjutan negosiasi perdagangan AS-China.

 

Perlambatan Ekonomi Di Uni Eropa

Pada hari Kamis, European Commission merilis proyeksi ekonomi terbarunya setelah merevisi turun ekspektasi pertumbuhan dan inflasi Zona Euro tahun 2018 hingga 2020. Akibat konflik perdagangan dan pelbagai tantangan domestik, inflasi diperkirakan akan bertahan lebih lama di bawah target 2 persen yang dipatok oleh European Central Bank (ECB). Inflasi Zona Euro diekspektasikan hanya tumbuh 1.4 persen pada tahun 2019, kemudian naik tipis jadi 1.5 persen pada tahun 2020.

Sebagai kesatuan 28 negara, Uni Eropa merupakan salah satu perekonomian terbesar dunia bersama AS dan China. Akibatnya, kekhawatiran tersebut menjerumuskan Euro dan mata uang berbeta tinggi lainnya, sekaligus mendongkrak Dolar AS yang merupakan rival utamanya dan berfungsi ganda sebagai Safe Haven.

"Dolar didukung oleh kekhawatiran mengenai pertumbuhan global dan faktor-faktor eksternal," ungkap Sim Moh Siong, pakar strategi mata uang di Bank of Singapore, kepada Reuters. Lanjutnya, "Pasar menantikan kebijakan apa yang dapat menstabilkan pertumbuhan seluruh dunia...hingga saat itu tiba, sulit membayangkan Dolar melemah."

 

Ketidakpastian Arah Kebijakan dan Resolusi Konflik Perdagangan

Lemahnya proyeksi inflasi Zona Euro akan memaksa ECB mempertahankan kebijakan moneter longgarnya lebih lama. Di sisi lain, Reserve Bank of Australia (RBA), Reserve Bank of New Zealand (RBNZ), dan Bank of Canada (BoC) juga sudah menyampaikan komentar yang bernada lebih dovish dalam dua bulan terakhir.

Bank of England (BoE) tak bisa melakukan perubahan kebijakan sebelum ketidakpastian Brexit menemukan titik terang. Bank of Japan (BoJ) juga belum mendapatkan jalan keluar dari kebijakan moneter akomodatif berkepanjangan.

Sebagai perbandingan, Federal Reserve memang mengisyaratkan akan menghentikan siklus kenaikan suku bunga untuk sementara waktu. Namun, mereka sudah menghentikan stimulus moneter dan, jika kondisi ekonomi memungkinkan, bisa melanjutkan kembali kenaikan suku bunga sewaktu-waktu.

Dilihat dari perspektif ini, dapat dipahami mengapa proyeksi Dolar AS dianggap "susah bearish" dalam jangka pendek, walaupun data Initial Jobless Claims kemarin malam agak mengecewakan. Sementara itu, penyelesaian konflik dagang AS-China yang diharapkan dapat memberikan angin segar bagi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia, masih jauh dari terwujud.

Baru-baru ini, Presiden AS Donald Trump mengutarakan bahwa ia tak punya rencana untuk berjumpa dengan Presiden China Xi Jinping sebelum deadline negosiasi kedua negara pada tanggal 1 Maret mendatang. Padahal, hasil dari kunjungan Perdana Menteri China Liu He pekan lalu belum menunjukkan perubahan signifikan. Pelaku pasar hanya dapat menantikan kunjungan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer ke China pekan depan untuk memulai putaran diskusi berikutnya.


Berita Forex Lainnya

USD
EUR
CHF
CAD
GBP
JPY
CNY
AUD





KONTAK KAMI PASANG IKLAN BROKER BELAJAR ANALISA ARTIKEL TERM OF USE