Inflasi konsumen (CPI) tahunan Tiongkok menunjukkan pemulihan pada bulan Februari hingga melebihi angka ekspektasi. CPI China mengalami kenaikan hingga 1.4 persen tahun ini, mematahkan ekspektasi kenaikan 0.9 persen yang diprediksi oleh para analis Reuters. Data CPI tersebut juga meneruskan kenaikan inflasi sebesar 0.8 persen yang telah tercapai pada bulan Januari.
Akan tetapi harga produsen terus merosot, menggarisbawahi adanya kelemahan yang makin curam dalam perekonomian. Kondisi ini bisa menjadi tekanan yang intensif kepada para pembuat kebijakan China untuk menemukan cara terbaru untuk menopang pertumbuhan.
PPI Justru Melorot
Indeks Harga Produsen (PPI) China merosot hingga 4.8 persen pada bulan Februari, dilaporkan oleh Biro Statistik Nasional China pada Selasa (10/02) hari ini. Data tersebut memperpanjang deflasi yang terjadi dalam sektor pabrikan selama hampir tiga tahun.
Lembaga Statistik tersebut pun memaparkan, kenaikan yang terjadi pada CPI terdorong oleh harga sayuran dan buah-buahan, sementara penurunan dalam PPI - yang diekspektasikan oleh para analis akan mencapai minus 3.4 persen - diperkirakan sebagai akibat dari merosotnya harga-harga komoditas global, khususnya energi, yang mengacaukan profitabilitas industri-industri alat berat di China.
Risiko deflasi kembali membayangi negara ekonomi terbesar kedua dunia, akibat terseret oleh turunnya pasar properti dan overkapasitas dalam bidang manufaktur yang terkombinasi dengan ketidakpastian outlook global dan jatuhnya harga komoditas. Pada pekan lalu, pemerintah China telah mengumumkan bahwa target pertumbuhan untuk tahun ini diturunkan ke 7 persen, di bawah target pertumbuhan 7.5 persen yang tidak tercapai pada tahun 2014 lalu.
Informasi dari China ini mengakibatkan melemahnya mata uang Australia, mengingat China adalah negara partner perdagangan terbesar Australia. AUD/USD diperdagangkan pada 0.7643 atau menurun 0.82 persen, setelah laporan dari NAB dan China.