Harga minyak mentah berjangka kian terpuruk pada sesi Asia di hari Kamis ini (31/3) menyusul memuncaknya data inventori minyak mentah AS untuk ketujuh kali berturut-turut. Hal ini meningkatkan kekhawatiran pasar akan oversupply sementara kesepakatan final terkait pembatasan produksi di kalangan negara-negara produsen minyak terkemuka belum menemukan titik terang.
Peningkatan Di Level Tinggi
Energy Information Administration (EIA) tadi malam merilis data yang menunjukkan bahwa persediaan minyak mentah AS naik sebanyak 2.3 juta barel ke total 534.8 juta barel dalam periode sepekan yang berakhir tanggal 25 Maret. Kenaikan tersebut lebih rendah dari prediksi analis yang mengekspektasikan peningkatan 3.3 juta barel, namun tak dapat dielakkan bahwa total persediaan lagi-lagi mendaki meski sudah berada level tinggi sejak periode sebelumnya.
Di sisi lain, persediaan gasolin dan hasil distilasi berkurang 3.6 juta barel, lebih banyak dibanding perkiraan analis sebelumnya dan menyisakan sepercik harapan tentang masih meningkatnya permintaan di tengah banjir limpahan pasokan.
Merespon data EIA, harga minyak mentah berjangka Brent sempat naik ke $40.61, tetapi kemudian ambruk lagi je $39.29 saat berita ini diangkat. Sementara harga minyak mentah AS melorot ke $37.93 meski sempat naik tiga persen di sesi sebelumnya.
Ke Depan Bakal "Zig-Zag"
Tony Nunan, manajer risiko minyak di Mitsubishi Corp Jepang, mengatakan pada Reuters bahwa harga bakal bergerak "zig-zag" sepanjang sisa tahun ini.
"Persediaan (minyak) komersial akan terus meningkat hingga Mei atau Juni. Sentimen bearish (pada harga) akan berlanjut hingga kita sungguh-sungguh melihat ada penurunan persediaan secara terus menerus," kata Nunan. Lanjutnya juga, "Harga minyak akan menurun lagi... $35 akan menjadi level support."
Akan tetapi level harga serendah itu tidak baik dalam jangka panjang, sehingga seiring dengan akan digelarnya pertemuan Doha tanggal 17 April mendatang maka ekspektasi pasar akan menjaga harga minyak ranging dalam kisaran terbatas.
"Kapan saja harga mendekati $45-$50 per barel, dana-dana investasi yang telah lama ambil posisi kemungkinan akan take profit. Kecuali ada hal-hal yang benar-benar mengobarkan ekonomi global, maka orang-orang akan melakukan aksi jual pada level tersebut."