EUR/USD 1.076   |   USD/JPY 152.880   |   GBP/USD 1.254   |   AUD/USD 0.661   |   Gold 2,301.51/oz   |   Silver 26.56/oz   |   Wall Street 38,664.73   |   Nasdaq 15,840.96   |   IDX 7,134.72   |   Bitcoin 62,889.84   |   Ethereum 3,103.54   |   Litecoin 81.93   |   Penutupan mingguan GBP/USD di atas 1.2550 dapat menarik pembeli, 1 hari, #Forex Teknikal   |   Pound Sterling bergerak lebih tinggi dengan perhatian tertuju pada NFP AS, 1 hari, #Forex Fundamental   |   Dolar AS melanjutkan pelemahan karena pasar menunggu data pekerjaan utama, 1 hari, #Forex Fundamental   |   USD/CHF kehilangan daya tarik di bawah level 0.9100, menantikan data NFP, 1 hari, #Forex Teknikal   |   Dow Jones Industrial Average ditutup naik 0.85% ke 38,225, S&P 500 juga menguat 0.91% ke 5,064, dan Nasdaq menanjak 1.51% ke 15,840, 1 hari, #Saham Indonesia   |   PT United Tractors Tbk. (UNTR) menjadwalkan cum dividen pada hari ini, Jumat (3/Mei), 1 hari, #Saham Indonesia   |   BEI menyetop perdagangan saham PT Barito Renewables Energy Tbk. (BREN) mulai hari ini, 1 hari, #Saham Indonesia   |   Shutterstock, Inc (NYSE: NYSE:SSTK) telah merilis laporan keuangan Q1/2024, melampaui ekspektasi pendapatan dan EBITDA dengan angka $214 juta dan $56 juta, 1 hari, #Saham AS

Pertumbuhan Indonesia, Antara Suku Bunga Tinggi Dan Infrastruktur Lambat

Penulis

Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia kemarin (18/6) memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7.50%. Keputusan itu sesuai dengan estimasi para analis sebelumnya, tetapi juga menggarisbawahi arah kebijakan otoritas moneter Indonesia di tengah dilema pertumbuhan versus depresiasi Rupiah dan defisit neraca berjalan.

Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia kemarin (18/6) memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7.50%, dengan suku bunga Deposit Facility pada 5.50% dan Lending Facility pada 8.00%. Menurut rilis Bank Indonesia, "Keputusan tersebut sejalan dengan upaya untuk menjaga agar inflasi berada pada sasaran inflasi 4±1% di 2015 dan 2016, serta mengarahkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat dalam kisaran 2.5-3% terhadap PDB dalam jangka menengah".


Keputusan itu sesuai dengan estimasi para analis sebelumnya. Di sisi lain, keputusan ini menggarisbawahi arah kebijakan otoritas moneter Indonesia di tengah dilema pertumbuhan versus depresiasi Rupiah dan defisit neraca berjalan.

 

Pembangunan Infrastruktur - ilustrasi



Tidak Mudah Melonggarkan

Sehari sebelum Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia dilaksanakan, Deputi Senior Gubernur Mirza Adityaswara mengungkapkan kepada media bahwa Bank Indonesia tidak berada dalam posisi bisa memangkas suku bunga demi mendorong pertumbuhan, karena memotong suku bunga sekarang bisa memperburuk kondisi Rupiah. Sebagaimana dikutip oleh Bloomberg, Adityaswara mengatakan, "Tidak mudah menyesuaikan kebijakan moneter saat ini. Jadi kami akan mengarahkannya dengan menggunakan instrumen makroprudensial untuk mendukung pertumbuhan (ekonomi)."


Salah satu faktor yang tidak memungkinkan BI untuk melonggarkan kebijakan adalah kemungkinan kenaikan suku bunga the Fed di Amerika Serikat dalam beberapa bulan ke depan yang telah dan diperkirakan akan terus mengakibatkan pelarian dana (cash outflow) dari negara-negara berkembang. Dengan demikian, meski pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini diperkirakan turun lagi, namun kebijakan untuk mendukung pertumbuhan tidak bisa dilakukan dengan mengutak-atik suku bunga acuan karena jika hal itu dilakukan maka akan memperburuk pelemahan Rupiah.


Analis umumnya sepakat dengan langkah BI untuk melonggarkan kebijakan makroprudensial guna mendukung pertumbuhan, sembari tetap berharap agar program-program pembangunan infrastruktur pemerintah yang telah dijanjikan bisa benar-benar berjalan di kuartal kedua ini.

 

Infrastruktur Yang Tertunda

Lambatnya realisasi pembangunan infrastruktur di Indonesia telah dituding banyak pihak sebagai salah satu penyebab lesunya pertumbuhan ekonomi. Dikabarkan, baru 7 triliun Rupiah dari anggaran 290 triliun Rupiah yang telah disalurkan per akhir April. Dampaknya, menurut catatan Isabella Zhong dari Barron's Asia, mempengaruhi estimasi pendapatan emiten sektor konstruksi di pasar saham Indonesia, berimbas pada harga saham sektor perbankan, serta menjatuhkan harga saham sejumlah emiten seperti WIKA dan PTPP.


Sementara itu, pada awal pekan Menteri Keuangan dilaporkan memangkas estimasi pertumbuhan resmi untuk tahun 2015 dari 5.7% yang ditargetkan dalam APBN bulan Februari menjadi 5.4%. Senada, sejumlah lembaga keuangan dunia juga telah memotong ekspektasi mereka akan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan. Sedangkan pernyataan BI yang terbaru kemarin menyebutkan kisaran 5.0-5.4% sebagai kisaran angka estimasi pertumbuhan Indonesia tahun ini. Outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih buruk dibanding tahun lalu tersebut semakin mendorong sentimen investor ke arah negatif.

 

 

Penulis

Alumnus Fakultas Ekonomi, mengenal dunia trading sejak tahun 2011. Seorang News-junkie yang menyukai analisa fundamental untuk trading forex dan investasi saham. Kini menulis topik seputar Currency, Stocks, Commodity, dan Personal Finance dalam bentuk berita maupun artikel sembari trading di sela jam kerja.