Pada hari Selasa (10/Desember), Departeman Statistik China mempublikasikan data Inflasi Konsumen (CPI) yang secara mengejutkan kembali naik menjadi 4.5 persen di bulan November. Data yang diukur dalam basis tahunan itu menguat dari level periode sebelumnya yang 3.8 persen, dan melampaui ekspektasi kenaikan ke 4.3 persen. Jika ditinjau dari rekor pertumbuhan inflasi China dalam satu dekade terakhir, rilis CPI kali ini menjadi yang tertinggi dalam 8 tahun.
Sejak awal tahun, Inflasi Konsumen China terus mengalami trend kenaikan. Berawal dari raihan 1.9 persen di bulan Januari 2019, indeks harga konsumen terus naik hingga mencapai 4.5 persen pada bulan November. Kondisi ini dipicu oleh minimnya stok daging babi di pasaran China. Wabah demam babi afrika yang memaksa otoritas China memusnahkan setengah populasi babi setempat telah menyebabkan kelangkaan daging babi. Akibatnya, permintaan daging babi melonjak dan harganya naik mencapai 110 persen dari tahun sebelumnya.
PPI China Bertahan Di Zona Negatif
Di saat yang sama, Departemen Statistik China juga merilis data inflasi di tingkat produsen (PPI) yang justru masih berkubang di area deflasi. Laporan PPI China pagi ini menunjukkan angka bulan November yang -1.4 persen. Meski masih minus, penurunan inflasi produsen China setidaknya lebih baik dari bulan sebelumnya (-1.6 persen) dan ekspektasi ekonom di -1.5 persen.
Trend inflasi produsen China yang terus menunjukkan pelemahan selama 5 bulan beruntun disinyalir karena melemahnya permintaan pasar akibat perang dagang yang berkepanjangan. Hal ini memaksa produsen melakukan diskon harga guna meningkatkan penjualan, yang kemudian berimbas pada angka PPI berada di teritori minus.
Secara garis besar, fokus investor saat ini tengah tertuju pada berita perang dagang untuk menyimak deadline kenaikan tarif impor pada 15 Desember. Apabila kenaikan tarif impor atas barang-barang China terealisasi, maka perekonomian China diprediksi akan semakin terpukul dan akan berdampak secara global.