Seputarforex.com - Pada hari Rabu (29/April), Biro Statistik Australia mempublikasikan data Inflasi Konsumen (CPI) yang tumbuh 0.3 persen pada kuartal pertama 2020. Meskipun lebih baik dari forecast ekonom di 0.2 persen, data tersebut jauh lebih lemah ketimbang angka kuartal sebelumnya yang sebesar 0.7 persen.
Secara spesifik, kenaikan harga paling signifikan berasal dari harga sayuran yang meningkat sebesar 9.1 persen, harga kopi (+2.0 persen), produk obat-obatan (+5.1 persen), dan biaya pendidikan (+3.4 persen). Sementara itu, penurunan harga paling dominan terjadi di harga bahan bakar (-6.0 persen), biaya liburan dan akomodasi (-3.1 persen), juga biaya liburan internasional (-3.0 persen).
Pandemi Corona secara tidak langsung berpengaruh signifikan terhadap melambatnya trend inflasi Australia pada kuartal pertama tahun ini. Pasalnya, penyebaran virus telah menekan permintaan energi global, yang tentu saja berimbas terhadap kejatuhan harga bahan bakar di Australia. Disamping itu, sektor pariwisata turut terkena imbas sehingga memicu turunnya biaya liburan dan akomodasi.
AUD/USD Tetap Bertenaga
Penurunan inflasi Australia pada kuartal pertama tahun ini tidak terlalu berdampak signifikan terhadap pergerakan Dolar Australia versus Dolar AS. Pada saat berita ditulis, pair AUD/USD diperdagangkan di kisaran 0.6525, menguat 0.52 persen dari harga Open harian.
Jika mengacu pada time frame Daily, Dolar Australia kini berada di jalur penguatan untuk hari ke-6 secara berturut-turut. Pergerakan tersebut menandai rebound dari level 0.5500 yang tercapai pada pertengahan Maret lalu.
Sebagai informasi, pemerintah Australia sempat bersitegang dengan China karena berencana mendukung investigasi internasional untuk mengungkap sumber awal virus Corona. Tak terima, China mengancam akan memblokir perdagangan dengan Australia, termasuk menyetop pengiriman pelajar ke negara tersebut.
Memanasnya tensi diantara kedua negara faktanya tidak berdampak siginikan terhadap AUD. Mata uang ini terus melanjutkan bullish jangka pendek versus Dolar AS, ditopang oleh sentimen risk-on menyusul kembali dibukanya aktivitas ekonomi di negara-negara Eropa yang sebelumnya menerapkan lockdown.
