Saat IMF menetapkan Renminbi memenuhi kriteria untuk menjadi bagian dari kelompok mata uang SDR di November 2015, banyak pihak meragukan kemantapan mata uang ini di pentas internasional. Dua kali suspensi pasar modal China serta devaluasi Renminbi pekan ini seakan membenarkan keraguan tersebut. Namun masih ada beberapa alasan lagi mengapa ketidakpastian terkait negeri berekonomi terbesar kedua di dunia tersebut bisa terus berlanjut dalam tahun 2016.
Cash Outflow Versus Devaluasi
The New York Times mencatat bahwa dalam beberapa tahun terakhir, China telah mulai mengizinkan, bahkan mendorong, perusahaan-perusahaan dan investor untuk menanamkan lebih banyak dana mereka di luar negeri guna mengurangi tekanan deflasioner di dalam negeri akibat overinvestment dan overcapacity. Langkah tersebut jugalah yang membuat negeri beribukota di Beijing itu berhasil meningkatkan pengaruhnya di seluruh dunia.
Namun demikian, laju dana meninggalkan China (cash outflow) disebut-sebut terlalu kencang pada musim dingin kemarin, sehingga bank sentralnya (PBOC) merespon dengan berupaya mendevaluasi mata uangnya dalam tiga pekan terakhir. Dengan Renminbi terdevaluasi, maka harapannya ekspor China ke luar negeri tergenjot sementara investasi di luar negeri jadi lebih mahal dan kurang menarik.
Tapi, hasilnya malah makin kacau. Dengan Renminbi makin melemah, perusahaan dan investor China malah makin khawatir kalau-kalau nilai yuan mereka makin merosot, sehingga memicu capital flight yang memperburuk kemelut.
Circuit Breaker Ibarat Bumerang
Awal tahun ini, China mengimplementasikan "circuit breaker" yang bisa secara otomatis menyetop perdagangan di pasar modal ketika harga saham merosot terlalu tajam. Tepatnya, suspensi 15 menit akan terjadi jika CSI300, indeks yang merekam 300 saham terbesar, jatuh 5 persen. Selanjutnya, trading pada hari terkait akan terhenti sepenuhnya jika indeks tersebut ambrol 7 persen. Sistem ini ditujukan untuk menjaga stabilitas pasar saham. Tetapi, ini pun sepertinya malah jadi bumerang.
Kemarin (7/1), bukan hanya PBOC mendevaluasi Renminbi, tetapi kepanikan merebak akibat trading di-stop hanya 30 menit setelah pembukaan. Suspensi dini tersebut terjadi setelah CSI300 merosot 7.2 persen dan Shanghai Composite turun 7.3 persen. Lebih kacau lagi, kebijakan lain yang melarang pemegang saham besar untuk menjual sahamnya juga dijadwalkan kadaluarsa pada Jumat ini, sehingga investor kecil (spekulator) pun buru-buru melepas sahamnya karena memperkirakan pasar akan segera ambrol lagi. Praktis, pasar makin kebingungan, dan dampaknya menjalar ke pasar-pasar saham lainnya.
Segera setelah rentetan kejadian itu, China menghentikan penggunaan circuit breaker untuk sementara. Mereka juga memperpanjang larangan jual saham bagi pemilik saham besar hingga tiga bulan ke depan. Secara tidak langsung, banting stir ini mengindikasikan regulator "mengaku salah langkah", tetapi seiring dengan itu, ketidakpastian pun diperpanjang.
Perlambatan Berakar Di Manufaktur
Selama sepuluh bulan terakhir, PMI Manufaktur Caixin yang mengukur performa sektor manufaktur berdasarkan survei atas 430 perusahaan di China, menunjukkan terjadinya kontraksi dengan angka indeks konsisten dibawah 50.
Penelitian dengan sampel yang lebih besar pun tak memperlihatkan profil yang lebih cerah. Gan Jie, Direktur Center on Finance and Economic Growth di Cheung Kong Graduate School of Business (Beijing), mengatakan pada New York Times bahwa dalam empat kuartal terakhir, hanya 2-3 persen perusahaan melakukan ekspansi. Simpulan tersebut ditarik dari sebuah survei kuartalan atas 2,000 perusahaan manufaktur dan industri lain di China.
Selama bertahun-tahun, solusi atas kelemahan ekonomi di China adalah stimulus. Itulah yang dilakukan saat krisis 2008, dan itu pula yang dilakukan pemerintahnya dalam beberapa bulan terakhir. Stimulus moneter maupun fiskal meliputi pembangunan infrastruktur, pemotongan suku bunga dan injeksi dana ke sistem finansial terus dilakukan. Pertanyaannya, sampai kapan strategi seperti ini bisa berjalan?
Status SDR Jadi Pedang Bermata Dua
Kemarin, PBOC menetapkan nilai yuan yang lebih rendah untuk kedelapan sesi berturut-turut hingga Renminbi turun 1 persen lagi terhadap Dolar AS dalam pekan pertama tahun 2016 setelah merosot 5 persen di 2015. Indikasi intervensi juga kabarnya muncul dalam perdagangan offshore yuan. Langkah-langkah itulah yang disinyalir mencuatkan kepanikan awal.
Mengontrol nilai tukar mata uang bukanlah sesuatu yang mudah. Selain dibutuhkan cadangan valas yang luar biasa besar, mempertahankan nilai tukar dalam kisaran yang optimal bagi keseimbangan makro cukup rumit untuk dilakukan. Bagi PBOC, hal yang rumit ini akan makin berliku. Dengan status Renminbi yang akan menjadi bagian dari kelompok SDR mulai 1 Oktober 2016, maka secara tidak langsung China memberikan peran yang lebih besar bagi pasar untuk menentukan nilai tukar. Jika sudah demikian, maka alternatif kebijakan seperti apa yang akan diterapkan?