Pasca rapat kebijakan Monetary Policy Committee (MPC) yang digelar hari ini (2/November), bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) mengumumkan kenaikan suku bunga untuk pertama kalinya dalam satu dekade. Kenaikan dari 0.25% menjadi 0.5% tersebut sebenarnya sudah diekspektasikan pasar.
Gegara Inflasi Tak Terkendali
Latar belakang di balik keputusan ini adalah laju inflasi yang meroket tak terkendali dalam beberapa bulan terakhir, hingga menyentuh 3 persen pada bulan September lalu dan diperkirakan masih akan naik terus akibat pelemahan Pounds pasca referendum Brexit. Para pengambil kebijakan menilai, diperlukan kenaikan suku bunga guna mengendalikan inflasi pada kisaran 2 persen, sekaligus mencegah harga-harga barang dan jasa membubung dalam masa mendatang.
Lebih lanjut, sebagaimana dilansir The Guardian, Gubernur Bank of England, Mark Carney, menyatakan bahwa suku bunga bisa naik dua kali lagi hingga mencapai 1 persen dalam tiga tahun ke depan. Kenaikan suku bunga berikutnya akan dilakukan secara bertahap dan terbatas, katanya, sembari menekankan kesiapan otoritas moneter untuk merespon perubahan apapun dalam outlook ekonomi Inggris ke depan.
MPC Khawatir Ketidakpastian Jelang Brexit
Kebijakan BoE kali ini didukung oleh 7 dari 9 peserta rapat, termasuk Gubernur Mark Carney. Hanya Deputi Gubernur Dave Ramsden dan Jon Cunliffe yang berbeda pendapat, memandang suku bunga sebaiknya tak diubah lantaran belum ada cukup bukti bahwa gaji pegawai telah meningkat --salah satu prasyarat utama sebelum bank sentral menaikkan suku bunga. Namun, pandangan umum MPC menyatakan laju pertumbuhan gaji akan naik hingga 3 persen dalam setahun ke depan karena rendahnya pengangguran.
Di sisi lain, MPC justru lebih mengkhawatirkan dampak ketidakpastian menjelang perpisahan Inggris dari Uni Eropa (Brexit), karena sejauh ini banyak perusahaan menunda atau membatalkan ekspansi sementara perundingan masih berlangsung dan belum ada kejelasan status hubungan Inggris-Uni Eropa kelak seusai Brexit. Meski demikian, MPC optimis peningkatan daya saing ekspor yang bersumber dari lemahnya nilai tukar, akan mampu mengimbangi perlambatan investasi bisnis dan belanja konsumen.