Harga minyak tergelincir pada hari Senin kemarin dan masih nampak tertekan pada sesi Asia hari ini (15/3) setelah Iran menyatakan bahwa mereka tidak akan turut mengikuti rencana pembekuan produksi yang disusun oleh negara-negara OPEC lainnya bersama Rusia. Bersamaan dengan itu, Iran mengangkat kembali prospek peningkatan output ke depan yang bisa menjadi biang limpahan suplai minyak baru.
Harga acuan minyak AS dan global mengalami kemunduran tajam setelah selama beberapa waktu investor ramai membeli minyak dan mengabaikan fundamental pasar yang rapuh. Kontrak WTI ditutup anjlok 3.4 persen pada harga $37.18 per barel di New York Mercantile Exchange (NYMEX), sedangkan kontrak Brent ditutup merosot 2.1 persen pada $39.53 per barel di Intercontinental Exchange (ICE).
Iran Terus Genjot Output
Wall Street Journal mengabarkan bahwa menteri perminyakan Iran, Bijan Zanganeh, mengatakan negerinya tidak akan berpartisipasi pada program pembekuan produksi (pembatasan output) bersama negara-negara eksportir minyak terkemuka lainnya, sebelum mencapai target produksi 4 juta barel per hari, atau sekitar sepertiga kali lebih besar dari level produksinya saat ini. Langkah tersebut membuka kemungkinan peningkatan suplai hingga 1 juta barel per hari di pasar minyak, tepat di saat suplai diproyeksikan mulai menurun sehubungan dengan berkurangnya sumur-sumur pengeboran di AS, Afrika, dan Amerika Latin.
Pernyataan Iran tersebut juga membangkitkan risiko akan batalnya rencana pembatasan output pada level bulan Januari yang dicetuskan oleh Arab Saudi, Rusia, Venezuela, dan Qatar. Beberapa negara OPEC, diantaranya Kuwait, sebelumnya telah menyatakan bahwa mereka tidak akan mengikuti kesepakatan tersebut apabila tak semua anggota OPEC mengikutinya. Padahal, diskusi tentang pembatasan output merupakan faktor terpenting yang telah mendorong reli bullish minyak dalam beberapa pekan terakhir.
Investor Masygul Akan Status Perminyakan AS
Berita ini mengalihkan fokus investor kembali ke masalah surplus output yang selama ini setengah terabaikan. Apalagi, meski jumlah sumur pengeboran di AS terus merosot dengan menurun lagi untuk pekan ke-12 berturut-turut pada laporan Baker Hughes hari Jumat kemarin, tetapi penurunan jumlah sumur tidak lantas berarti produksi juga akan berkurang.
Perusahaan-perusahaan minyak AS telah merespon penurunan harga minyak sejak tahun 2014 dengan meningkatkan efisiensi produksi mereka, sehingga level output minyak AS terus berada diatas 9 juta barel per hari. Pun, apabila posisi harga terus berada di kisaran $40 dolar dan meningkat, maka itu akan membuka kemungkinan bagi para produsen minyak shale untuk mengaktifkan lagi sumur-sumur minyak yang mangkrak, dan dengan demikian mengikis harapan akan berlanjutnya reli harga ke level yang lebih tinggi.
Sementara itu, para analis dan trader kini tengah menantikan rilis data inventori minyak mentah AS yang akan dirilis di hari Rabu. Data yang sama pekan lalu menunjukkan inventori minyak mentah naik 3.9 juta barel, sedangkan gasolin turun 4.5 juta barel. Diperkirakan data mendatang yang merekam perubahan dalam satu minggu terakhir akan menunjukkan peningkatan inventori minyak mentah lagi.