EUR/USD 1.074   |   USD/JPY 156.530   |   GBP/USD 1.253   |   AUD/USD 0.655   |   Gold 2,338.13/oz   |   Silver 27.24/oz   |   Wall Street 38,262.07   |   Nasdaq 15,611.76   |   IDX 7,036.08   |   Bitcoin 63,755.32   |   Ethereum 3,130.16   |   Litecoin 87.99   |   USD/CHF menguat di atas level 0.9100, menjelang data PCE As, 14 jam lalu, #Forex Teknikal   |   Ueda, BoJ: Kondisi keuangan yang mudah akan dipertahankan untuk saat ini, 16 jam lalu, #Forex Fundamental   |   NZD/USD tetap menguat di sekitar level 0.5950 karena meningkatnya minat risiko, 16 jam lalu, #Forex Teknikal   |   EUR/JPY melanjutkan reli di atas level 167.50 menyusul keputusan suku bunga BoJ, 16 jam lalu, #Forex Teknikal   |   PT PLN (Persero) segera melantai ke Bursa Karbon Indonesia alias IDX Carbon, dengan membuka hampir 1 juta ton unit karbon, 22 jam lalu, #Saham Indonesia   |   PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk. (SMAR) meraih fasilitas pinjaman dari Bank BNI (BBNI) senilai $250 juta, 22 jam lalu, #Saham Indonesia   |   Induk perusahaan Google, Alphabet Inc (NASDAQ: GOOGL), menguat sekitar 12%, mencapai rekor tertinggi di sekitar $174.70, 22 jam lalu, #Saham AS   |   Nasdaq naik 1.2% menjadi 17,778, sementara S&P 500 naik 0.8% menjadi 5,123 pada pukul 18.49 ET (22.49 WIB). Dow Jones Futures naik 0.1% menjadi 38,323, 22 jam lalu, #Saham AS

Pasar Saham Menunggu Titah Janet Yellen

Penulis

Antara khawatir dan cemas, kondisi itulah yang tengah dirasakan oleh sebagian besar investor global, ombang-ambing kenaikan suku bunga The Fed seperti tak berkesudahan, pekan ini adalah salah satu pekan yang akan sangat diamati, akankah The Fed menaikkan suku bunga acuannya?

Sudah hampir satu tahun lebih berlalu sejak The Fed memberikan sinyal untuk menaikkan suku bunga acuan, namun hingga detik ini tidak jua terjadi. Tinggal bulan September, Oktober dan Desember hingga akhirnya suku bunga acuan tetap pada level saat ini sampai dengan akhir tahun.

Pasar Saham Menunggu Titah Janet

Grafik Suku Bunga The Fed

Pasar Saham Menunggu Titah Janet

Mengapa The Fed mempertahankan argumennya terkait level inflasi 2% yang dimana level tersebut lebih cocok untuk mulai menaikkan suku bunga-nya? The economist (13/09) menyikapi bahwa tingkat inflasi yang lebih tinggi adalah lebih kepada beban/biaya, (dalam kaidah ekonomi), - dibandinkan jika inflasi rendah. Ketika inflasi tinggi itu cukup ber-volatilitas dan karena beberapa harga lebih mudah ikut menyesuaikan dibanding inflasi yang rendah. Tingkat inflasi yang lebih tinggi dapat menghasilkan distorsi dalam ekonomi karena harga relatif melambung.

Namun inflasi yang rendah juga bukan tanpa resiko, perusahaan merasa cukup sulit untuk memotong upah dalam banyak kasus-seperti ketika serangan resesi. Tapi jika inflasi tinggi, maka biaya riil tenaga kerja bisa jatuh bahkan jika upah yang sebenarnya tidak (karena pekerja menjadi lebih murah dibandingkan dengan barang yang mereka produksi), sehingga perusahaan menghadapi sedikit tekanan untuk memecat pekerja di tengah tingkat penurunan. Selain itu, tingkat inflasi yang lebih rendah cukup sesuai jika ingin menurunkan suku bunga (karena kreditor menuntut premium inflasi saat pinjaman selama waktu yang cukup lama).

Ketika suku bunga sangat rendah, kenaikan suku bunga oleh bank sentral ataupun mungkin untuk mengurangi suku bunga, hal tersebut dilakukan untuk menangkis kelemahan ekonomi yang sedang terjadi. Sejak bank sentral tidak dapat dengan mudah menurunkan suku bunga mereka di bawah nol, inflasi yang rendah secara efektif meningkatkan kemungkinan bahwa bank sentral akan menjadi relatif tak berdaya dalam menghadapi resesi yang parah. Itulah mengapa saat ini The Fed cukup kesulitan dalam memutuskan kenaikan suku bunga-nya (karena melibatkan banyak variabel ekonomi dan multiplier effect yang terjadi).

IHSG Bounce Back?

Pasar Saham Menunggu Titah Janet

Sejak kejatuhan di bulan Agustus lalu, nampak IHSG mulai mengalami rebound, dan berhasil kembali ke level 4,500-an, namun sayangnya hal tersebut hanya berlangsung sesaat dikarenakan pada tanggal (31/08) biasanya market melakukan aksi window dressing dan terlihat IHSG kembali terakumulasi jual hingga ditutup di level 4,300-an hingga saat ini. sekilas cukup sulit mengharapkan IHSG kembali bangkit ke atas 4,500-an, paket kebijakan yang dirilis oleh pemerintah di awal bulan ini pun tidak sanggup membawa IHSG menembus level 4,400. Itu artinya IHSG sudah kehabisan tenaga dan sinyal-sinyal positif saat ini tidak mudah untuk langsung membawa indeks melaju kencang. Masalahnya apa? Ya tentu saja investor asing sudah menghitung ulang imbal hasil di Indonesia yang cukup rendah ditengah resiko premium CDS yang sudah naik di atas 200 poin, itu menandakan resiko default meninggi. Perlambatan ekonomi China dan bingungnya The Fed untuk menaikkan suku bunga juga menambah sentimen negative bagi investor global saat ini, alhasil yang terbaik saat ini adalah memegang cash.

Saya melihat ekonomi Indonesia akan sulit tumbuh di atas 5% tahun ini, rentang 4,5-4.8% adalah yang masuk akal. Perlambatan ekspor masih terlihat dan resiko meledaknya rupiah sedikit demi sedikit terlihat, yang dimana rupiah saat ini sudah menembus level 14,400/$. Resiko utang berbasis USD atau forex loss di perusahaan domestik patut diperhatikan, hal ini akan cukup menambah masalah karena rata-rata perusahaan telat melakukan hedging di level 14,000/$ ke atas. Kenaikan suku bunga The Fed akan membawa IHSG kembali mendekati level 4,100 bahkan menembus level 4,000-an.


Infrastruktur?

Pasar Saham Menunggu Titah JanetGrafik Asumsi Dana Infrastruktur RAPBN 2016

Jika ada sektor yang masih bisa diharapkan tahun ini salah satunya dan mungkin satu-satunya adalah infrastruktur yang termasuk di dalamnya sektor konstruksi. Betapa tidak, pertumbuhan ekonomi di tahun-tahun sebelumnya selalu di dominasi oleh porsi konsumsi dan investasi, namun pada tahun ini porsi tersebut tengah melambat dan tergantikan oleh porsi belanja pemerintah, itupun sempat seret hingga semester I tahun ini. sedangkan pada tahun depan anggaran bertambah dan dari beberapa daftar proyek yang sedang berjalan di tahun ini, progress terbaik di lalui oleh perbaikan irigasi dan waduk. Sedangkan tol dan pelabuhan masih jauh dari sempurna, jadi ini menjadi catatan penting pemerintah bahwa realisasi dari mega proyek listrik 35,000MW (mungkin) memang perlu dikaji ulang yang dimana asumsi tersebut kelewat optimis malah. Saya melihat infrastruktur bisa menjadi titik penting keberhasilan Indonesia dalam 10-15 tahun kedepan yang tentunya akan mengurangi high-cost di titik-titik penting perdagangan/transportasi. Jika ini bisa dilalui dan implementasi berjalan lancar dan doing business semakin membaik alhasil Indonesia akan mendapatkan benefit dari sisi capital inflow dan pada akhirnya dapat memperkuat devisa dan nilai tukar rupiah. Untuk itu saya menilai tahun ini sebagai tahun yang penting bagi sektor infrastruktur dalam pembuktiannya sebagai reformasi struktural secara menyeluruh.

Sektor Industri Indonesia Melambat

Grafik di bawah ini sebetulnya bisa sedikit menggambarkan sisi supply ekonomi Indonesia yang tengah dihadapi saat ini, terlihat indeks produksi Indonesia di bulan Juli melemah sebesar 2.86% artinya perusahaan sedang mengalami perlambatan permintaan di tengah melemahnya konsumsi masyarakat. Industrial production Indonesia turun 2.86% di bulan Juli dari sebelumnya berada di level 3.5% (bertumbuh). Tentu ini menjadi hint bagi kinerja emiten-emiten di Indonesia yang akan mengalami penurunan pendapatan di tahun ini.

Pasar Saham Menunggu Titah JanetGrafik Industrial Production

Baik sektor industri dasar, aneka industri, manufaktur, pertambangan dan kelapa sawit kesemuanya mengalami kinerja yang negatif, dimulai dari penurunan harga komoditas, kebijakan minerba yang memukul produsen sampai rugi valas yang diderita oleh emiten mengharuskan perusahaan merevisi target di tahun ini. Perlambatan ini masih akan berjalan setidaknya hingga pertengahan tahun depan, hingga sinyal perbaikan ekonomi di wilayah regional dan global menunjukkan pemulihan.

Arsip Analisa By : Aditya Putra
246522
Penulis

Aditya Putra telah aktif di dunia saham selama lebih dari 6 tahun dan hingga saat ini masih menjadi seorang Equity Analyst di perusahaan sekuritas. Aditya menyukai Value Investing, selalu berhasrat menemukan Hidden Gems di saham-saham Small Caps Indonesia, dan terus mengamati saham-saham yang salah harga.